GELORA.CO - Menelisik religiositas Soekarno, mau tak mau pasti ketemu dengan cara Presiden pertama Indonesia itu menjiwai agama Islam. Ada pemahaman yang menonjol dalam ke-Islam-an Soekarno.
"Islam bukan ilmu klenik!" kata Soekarno.
Dia berbicara pada kesempatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, Jakarta, pada tahun 1963 silam. Rekaman pidato Bung Karno dalam acara ini diunggah di Youtube oleh akun Zakirin Nabiy pada 31 Desember 2014 dengan judul 'Maulid Nabi Muhammad SAW ~ Presiden RI - Ir. Soekarno'.
Soekarno tak setuju dengan cara beragama yang hanya membabi buta, atau dalam istilah Belanda yang dipakai Soekarno adalah 'blindelings'. Buta dalam artian tak peduli bagaimana pemahamannya, yang penting ikut saja apa yang diperintahkan pihak berotoritas, seperti seorang praktisi klenik yang ikut apa kata dukun.
"Kalau Pak Kyai, Pak Dukun sudah berkata engkau akan dapat sepuluh juta, (lantas) percaya!" kata Soekarno mencontohkan perilaku beragama secara buta.
Menurut ayahanda Presiden Megawati Soekarnoputri ini, Islam adalah agama yang menyuruh orang untuk berpikir, tak sekadar menyuruh untuk percaya saja.
"Islam adalah agama yang menuju kepada hati dan otak," kata Soekarno.
Maka menurut Soekarno, aturan-aturan dalam Islam juga mengikuti perkembangan zaman, seturut pertimbangan rasional pula. Agak unik bila kita menyimak contoh yang dikemukakan Soekarno seperti yang tertulis dalam tulisannya yang berjudul 'Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara' tahun 1940. Kisahnya berlatar saat Soekarno diasingkan di Ende Flores Nusa Tenggara Timur.
Suatu hari Soekarno mendapati ada anjing yang menjilat pancinya yang ditaruh di dekat sumur. Lalu dia memanggil anak angkatnya, Ratna Juami, untuk membersihkan panci yang terkena air liur anjing itu. Bila mengacu pada aturan Islam yang umum dipahami, panci itu bakal dibersihkan dengan pasir sebanyak tujuh kali. Namun Soekarno menyuruh Ratna untuk membersihkan dengan sabun dan kreolin saja.
"Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin," kata Soekarno memberi penjelasan kepada Ratna yang mengalami kebingungan.
Soekarno berusaha memadukan iman dan akal dalam beragama. Dalam hal politik yang seringkali berjalin-kelindan dengan agama, Soekarno tak setuju konsep khalifah layaknya zaman nabi. Menurutnya, sistem politik sudah berkembang seturut kemajuan zaman dan akal-budi manusia.
"Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, – cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman 'khalifah-khalifah yang besar' itu?" kata Soekarno.
Justru, menurutnya, sikap copy-paste kekhalifahan untuk era sekarang bukanlah 'mengambil api islam yang berkobar', melainkan hanya 'mengambil abunya saja'. Soekarno menyindir soal sikap Islami yang hanya superfisial itu, seperti sebatas mengenakan jubah dan celak mata atau menggenggam tasbih.
Orang Islam perlu selalu berpikir maju. Pada konteks dahulu, agaknya Soekarno menemui stigma keras dari kalangan tertentu bahwa segala hal yang dari luar Islam adalah kafir. DIa mengkritik hal ini.
"Kita royal sekali dengan perkataan 'kafir', kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap 'kafir'," sorot Soekarno.
Soekarno bermaksud mengajak agar umat Islam beranjak dari masa lalu. Ini karena Islam juga mendorong kemajuan. "Bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat menangkap inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari," kata Soekarno lewat tulisan yang memang dimaksudkan terbit dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW itu.
Sumber: detikcom