Pilu! Viral Pesan Teks Tentara Rusia dengan Sang Ibu Sebelum Dibunuh: 'Mama, Aku di Ukraina, Aku Takut'

Pilu! Viral Pesan Teks Tentara Rusia dengan Sang Ibu Sebelum Dibunuh: 'Mama, Aku di Ukraina, Aku Takut'

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Tak cuma konflik pemicu yang menarik perhatian masyarakat dunia dari perang antara Rusia dengan Ukraina. Invasi besar-besaran itu ternyata memunculkan berbagai peristiwa pilu yang juga menarik untuk disorot.

Seperti yang baru-baru ini diceritakan oleh Duta Besar Ukraina untuk PBB, Sergiy Kyslytsy, tentang kisah pilu seorang tentara Rusia yang mengirim pesan teks kepada ibunya sebelum akhirnya dibunuh oleh pasukan Kiev selama pertempuran.

Melalui tangkapan layar, Diplomat itu membacakan pesan yang dikirim oleh sang tentara Rusia saat  sesi khusus darurat Majelis Umum PBB pada Senin lalu.

“Mama, aku tidak lagi di Crimea—aku tidak dalam sesi pelatihan,” bunyi pesan tentara tersebut tanpa disebutkan namanya setelah ibunya bertanya mengapa bertugas cukup lama, sebagaimana diberitakan oleh AFP.

“Mama, aku di Ukraina. Ada perang nyata yang berkecamuk di sini. Aku takut. Kami mengebom semua kota bersama-sama, bahkan menargetkan warga sipil. Kami diberitahu bahwa mereka akan menyambut kami. Mereka jatuh di bawah kendaraan lapis baja kami, melemparkan diri mereka ke bawah kemudi dan tidak membiarkan kami lewat. Mereka menyebut kami fasis. Mama, ini sangat sulit.”

Kyslytsya pun menyamakan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan "pria di bunker" yang tewas di Berlin pada Mei 1945.

Selama sesi khusus darurat berlangsung, Rusia membela keputusannya untuk menyerang tetangganya ketika negara demi negara mendesak perdamaian dari podium.

Saat ini, Rusia menghadapi krisis dukungan ketika 193 anggota Majelis Umum PBB mengadakan sesi khusus darurat yang langka ke-11 dalam sejarahnya.

Mereka memperdebatkan resolusi dan mengutuk aksi "agresi bersenjata Moskow yang tidak beralasan" di Ukraina.

Di sela-sela sesi, Washington mengatakan sudah mengenyahkan 12 Diplomat Rusia di PBB dari negara Amerika Serikat atas tuduhan terlibat dalam kegiatan spionase yang merugikan keamanan nasional Amerika. 

Di aula Majelis Umum, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memohon agar pertempuran di Ukraina dihentikan. 

"Cukup sudah cukup," katanya.

Lebih dari 100 perwakilan negara diperkirakan akan berbicara selama tiga hari saat badan global memutuskan apakah akan mendukung atau tidak terhadap resolusi yang menuntut Rusia segera menarik pasukannya dari Ukraina.

Pemungutan suara diharapkan digelar hari Rabu dan harus mencapai ambang dua pertiga untuk lolos.

Resolusi tersebut tidak mengikat, tetapi akan menjadi penanda betapa terisolasinya Rusia.

Perancang resolusi berharap mereka dapat melebihi 100 suara mendukung, meskipun negara-negara termasuk Suriah, China, Kuba dan India diharapkan untuk mendukung Rusia atau abstain.

“Kami tidak merasa terisolasi,” kata Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia kepada wartawan. 

Dia mengulangi sikap Moskow yang ditolak mentah-mentah oleh Kiev dan sekutu Baratnya bahwa operasi militer mereka diluncurkan untuk melindungi penduduk daerah yang memisahkan diri di Ukraina timur.

“Permusuhan dilepaskan oleh Ukraina terhadap penduduknya sendiri,” katanya dalam pidatonya.

Kyslytsya menjelaskan pemungutan suara di PBB juga dilihat sebagai barometer demokrasi di dunia di mana sentimen otokratis telah meningkat, menunjuk ke rezim seperti itu di Myanmar, Sudan, Mali, Burkina Faso, Venezuela, Nikaragua-dan tentu saja Rusia. 

“Jika Ukraina tidak bertahan, PBB tidak akan bertahan. Jangan berangan-angan,” tegas Kyslytsya.(*)

Sumber: poskota
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita