GELORA.CO - Diberitakan oleh sejumlah media, para warga negara asing (WNA) khususnya pelajar dari Afrika hingga Asia mengalami perlakuan rasisme dari para aparat di Ukraina.
Perlakuan rasis ini dialami oleh para WNA yang hendak mengungsi keluar dari Ukraina.
Para korban perlakuan rasis ini mendapat diskriminasi ketika hendak menyeberangi perbatasan.
Pelajar dari Pakistan di Ukraina, Maisum Ahmed menceritakan perlakuan rasis aparat Ukraina terhadap pelajar dari negara-negara lain yang hendak mengungsi.
Pelajar dari Pakistan di Ukraina, Maisum Ahmed menceritakan perlakuan rasis aparat Ukraina terhadap pelajar dari negara-negara lain yang hendak mengungsi. (Twitter@ajplus)
Merespons keadaan ini, pemerintah Ukraina diketahui sudah mengambil sebuah langkah.
Saat ini pemerintah Ukraina telah menyediakan hotline (Saluran telepon) darurat untuk para pelajar dari negara lain yang hendak mengungsi.
Dikutip dari BBC.com, informasi ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba lewat akun Twitternya @DmytroKuleba, Kamis (3/3/2022).
Kuleba menyampaikan, petugas perbatasan akan beroperasi 24 jam penuh dan melayani seluruh warga dari negara manapun.
Menurut Kuleba, pelayanan dilakukan dengan sistem siapa yang datang pertama akan dilayani pertama.
"Kami telah mendirikan sebuah hotline darurat untuk warga Afrika, Asia, dan para pelajar lain yang hendak pergi meninggalkan Ukraina karena invasi Rusia.
+380934185684
Kami sedang bekerja secara intensif untuk memastikan keamanan mereka dan mempercepat perjalanan mereka. Rusia harus menghentikan agresinya yang mana berdampak kepada kita semua."
Statement Kontroversial Media Barat
Di tengah pemberitaan seputar konflik Ukraina dan warga yang mengungsi, mirisnya muncul sejumlah pernyataan rasis yang diucapkan oleh media massa yang berbasis di negara-negara barat.
Media asal timur tengah Al Jazeera menampilkan cuplikan sejumlah statement rasis dari beberapa media di negara barat lewat akun Twitter @ajplus, Rabu (3/2/2022).
Pertama ditayangkan pernyataan dari koresponden CBS News, Charlie D'Agata.
Charlie membandingkan bagaimana kasus di Ukraina adalah hal yang berbeda tidak seperti negara-negara timur tengah yang sudah biasa mengalami konflik.
"Dengan segala hormat, Ini (Ukraina) bukanlah tempat seperti Irak atau Afghanistan yang telah mengalami konflik selama beberapa dekade," ujar Charlie.
"Ukraina adalah negara yang relatif beradab."
"Saya juga telah berhati-hati memilih kalimat tersebut, kota di mana kamu tidak akan menduga terjadi itu (konflik)," ungkap Charlie.
"Terus terang saja, mereka (warga Ukraina) bukanlah pengungsi dari Suriah, mereka adalah pengungsi dari negara tetangga," kata Kelly.
"Mereka adalah umat kristiani, mereka berkulit putih," jelasnya.
Komentar rasis juga disampaikan oleh Wakil Jaksa Agung Ukraina, David Sakvarelidze.
"Bagi saya ini sangat emosional karena saya melihat orang-orang Eropa dengan mata biru dan rambut pirang dibunuh," ujar David.
Bahkan kantor berita Al Jazeera sempat meminta maaf seusai seorang pembawa acara mereka membandingkan kasta pengungsi dari Ukraina dengan pengungsi dari timur tengah.
Komentar-komentar bias media barat ini menuai protes dari netizen.
Mereka menyayangkan pernyataan-pernyataan bias tersebut yang tidak bersimpati.
Warganet juga menegaskan bahwa semua negara sama-sama sengsara karena konflik, dan tidak dibenarkan mengkategorikan pengungsi dari ras dan negara asal mereka.
Pengungsi Warga Kulit Hitam Alami Rasisme
Sejak Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan operasi militer spesial pada Kamis (24/2/2022), penduduk di Ukraina berbondong-bondong pergi mengungsi.
Mirisnya, di tengah keadaan darurat perang, perlakuan rasisme ternyata masih terjadi di Ukraina.
Perlakuan rasis ini khususnya dirasakan oleh mereka yang bukan warga asli Ukraina.
Ditayangkan pada YouTube BBC News Indonesia, Selasa (1/3/2022), sejumlah video menampilkan perlakuan rasis pasukan militer Ukraina.
Di video pertama tampak seorang pria yang sedang mengungsi merekam situasi di perbatasan.
Ia menampilkan bagaimana sejumlah warga kulit hitam tertahan di perbatasan.
"Mereka tidak mengizinkan orang kulit hitam masuk," ujar perekam.
"Hanya perempuan dan anak-anak warga Ukraina yang diizinkan menyeberang."
Pada video yang lain tampak warga kulit hitam dilarang melintasi perbatasan oleh seorang anggota pasukan militer Ukraina.
Mereka ditelantarkan begitu saja di stasiun kereta.
Menurut keterangan Jurnalis BBC, Parham Ghobadi, perlakuan rasis yang dialami oleh warga non Ukraina adalah tidak diperbolehkan membeli tiket kereta hingga didorong ke antrean paling belakang.
Seorang wanita kulit hitam menceritakan bagaimana dirinya dan sesama warga kulit hitam lain diperlakukan seperti binatang.
"Kami lelah dan lapar, kami belum tidur selama dua hari karena semua hal ini," ucap wanita tersebut.
"Kami merasa sangat marah akan hal ini."
"Mengapa mereka mengutamakan warga Ukraina untuk keluar perbatasan dan meninggalkan kami di negara mereka."
"Mereka memperlakukan kami seperti binatang, kami disuruh duduk dan berdiri, mendorong kami, memukul dengan tongkat," ungkapnya.
Wanita itu juga menceritakan bagaimana aparat yang berlaku rasis turut menembakkan senjata ke udara untuk membuat takut warga sipil.
Berdasarkan kesaksian wanita itu, perlakuan rasis dialami oleh semua warga non Ukraina.
Saat dihubungi oleh BBC.com, pasukan keamanan Ukraina yang ada di perbatasan belum menjawab
Dalam liputan tim BBC, ditampilkan sebuah video saat warga asal Iran di Ukraina diminta untuk memungut sampah oleh petugas perbatasan.
Setelah memungut sampah barulah warga Iran itu diperbolehkan melanjutkan perjalanan mengungsi pergi dari Ukraina.
Perlakuan rasis juga dialami oleh seorang pemuda asal India yang turut mengungsi pergi dari Ukraina.
Pemuda itu mengaku dipukul menggunakan popor senapan.
"Awalnya tentara Ukraina mendorong senapan ke wajah saya, wajah teman saya," kata pria India tersebut.
"Mereka berlaku buruk kepada kami," ungkapnya.
Sumber: Tribun