OLEH: ILHAM BINTANG
SEPERTI itu suara lirih masyarakat yang saya "tangkap" dan karena itu saya jadikan judul tulisan ini.
Merespons pernyataan Menteri Agama
Yaqut Cholil Qoumas yang menganalogikan suara azan sama dengan gonggongan anjing. Analogi itu disampaikan sendiri Menag kepada wartawan dalam kunjungannya di Pekan Baru, Riau, Rabu, (23/2). Yaqut, seperti dikutip media, mengatakan jika tinggal di wilayah banyak warga memelihara anjing, dan anjing tersebut mengeluarkan suara keras secara bersamaan, tentu akan mengganggu.
Menag bermaksud memberi tambahan penjelasan surat edarannya, Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 yang mengatur volume pengeras suara masjid/musala sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel, yang diterbitkan sebelumnya.
Reaksi MUI
Reaksi sama diutarakan juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menanggapi pernyataan tersebut. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Wadah Silaturohim Indonesia itu menilai, seharusnya Gus Yaqut sebagai pejabat negara lebih bijak dalam menyampaikan komentar atau pernyataan. Ini bukan kinerja tapi soal kepantasan di ruang publik oleh pejabat publik.
“Mudah-mudahan Allah mengampuni dan melindungi kita semua," kata dia.
Saya membaca reaksi itu tadi subuh, yang diberitakan "Kumparan" tengah malam tadi. Lepas dari kontroversinya, saya menilai sebenarnya pengaturan speaker baik adanya. Faktanya, memang ada beberapa masjid yang mengabaikan pengaturan volume suara speakernya sehingga mengganggu masyarakat sekitar.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia, Yusuf Kalla, belum lama ini juga menyoal itu. DMI fokus menyoroti sumber pengeras suara (speaker) masjid yang 90 % buruk. Namun, tidak dijelaskan apakah DMI akan membantu pengadaan speaker yang baik untuk masjid dimaksud.
Surat Edaran Menag Nomor 5 Tahun 2022 untuk mengatur volume pengeras suara masjid/musala sesuai dengan kebutuhan, dan paling besar 100 desibel. Namun, penjelasan Menteri Agama yang menyamakan suara azan dengan gangguan gonggongan anjing sangat berlebihan. Menyakiti hati umat Islam. Suara azan itu panggilan untuk Salat. Belanda saja yang banyak memelihara anjing dan pernah menjajah negeri ini menghormati azan sebagai aturan agama Islam.
SE Menag saja sudah direspons gaduh oleh masyarakat, ini ditambah lagi dengan analogi gonggongan anjing.
Dalam SE No 5, Menag sampai mengatur durasi takbiran menjelang Idul Fitri 1 Syawal dan Idul Adha 10 Zulhijah. Maksimal penggunaan speaker luar hanya sampai pukul 22.00 waktu setempat. Ini direspons negatif warga Muslim. Menag dinilai seperti menyamakan aktifitas agama dengan aktifitas belanja di mal atau di tempat karaoke yang waktunya diatur berdasar PPKM di masa pandemi virus Covid-19.
Pihak mana pula nanti yang akan diberi wewenang polisional mengawal SE Menag itu. Tak terbayangkan dampak dari pontensi konflik horisontal di dalam masyarakat.
Rekor Menag
Menjelang Pemilu belakangan ini kita semakin sering mendengar narasi yang kontroversial dari para pejabat pemerintah.
Namun, yang sering bermasalah narasinya, memang Menteri Agama. Sudah memecahkan rekor dari segi kuantitatif. Sejak baru dilantik hingga sekarang nyaris tak ada pernyataannya tanpa memicu gaduh.
Dilansir dari berbagai sumber, berbagai pernyataan Menag Yaqut yang menuai kontroversi itu dirangkum Tempo.co dalam berita 26 Oktober tahun lalu.
Beberapa hari setelah dilantik sebagai Menteri Agama, Tempo menulis, Yaqut sudah memantik gaduh ketika mengatakan kaum Syiah dan Ahmadiyah memiliki kedudukan sama dengan warga negara lain. Sebagai Menteri Agama, katanya waktu itu, ia siap memfasilitasi dialog untuk menjembatani berbagai macam perbedaan.
Reaksi berikutnya muncul ketika Menag mengucapkan selamat hari raya “Naw Ruz” kepada Komunitas Baha'i, Juli 2021. Kontroversi timbul karena Baha'i dianggap sebagai salah satu aliran sesat di Indonesia. Menyusul kemudian usulannya agar memanjatkan doa semua agama untuk mengawali tiap kali Rakernas di lingkungan Kemenag.
Saya tak yakin visi Presiden Jokowi dicerminkan dalam sikap Menag yang selalu memantik kegaduhan. Seluruh rakyat Indonesia tahu Presiden Jokowi paling anti kegaduhan. Berulangkali Jokowi menandaskan itu. Lalu, kenapa bisa beberapa menteri sering lepas kontrol padahal Kepala Negara punya perangkat pengawasan yang berlapis lapis.
Masih di "Kumparan", dalam berita yang saya baca tadi subuh, seorang pembaca media itu ikut mengomentari analogi Menag.
"Anjing (mengonggong) lihat setan disamakan dengan panggilan Allah. Woy woy ngono yo ngongo sing ojo ngono…” tulisnya.
Ya, benar. Memang sepatutnya pejabat negara merawat sikap tenggang rasa dalam berbangsa.