OLEH: ANTHONY BUDIAWAN
KONTAN.co.id memuat berita berjudul “Survei Litbang Kompas: Kepuasan Publik terhadap Kinerja Jokowi-Ma'ruf Meningkat” pada 21/2/2022.
Survei ini bikin kening berkerut, dan mengusik intelektualisme rakyat.
Bagaimana bisa, masalah begitu banyak tapi survei bilang popularitas Jokowi tertinggi sejak 2015, mencapai 73,9 persen per Januari 2022 atau naik dari 66,4 persen per Oktober 2021?
Padahal kondisi ekonomi sedang morat-marit, harga bahan pangan melambung, harga kedelai dan minyak goreng naik tajam. Perajin tahu tempe banyak yang tidak bisa produksi.
Pembelian minyak goreng dijatah, mengundang antrean panjang hingga ada yang pingsan. Setidaknya itu dapat dilihat dari video yang beredar viral di masyarakat.
Bahkan menurut berita, pembelian tersebut juga harus lampirkan KK dan kartu vaksin. Semua ini menuai gerutu masyarakat, menunjukkan tidak puas dengan kebijakan ini.
Tukang daging katanya juga mau mogok dagang 5 hari, karena harga daging juga naik tajam.
Ribuan sopir truk demo menutup jalan pantura, protes aturan ODOL, Over Dimension and Over Loading, bikin jalanan macet total.
Buruh dan pekerja masih ramai protes menuntut pembatalan aturan JHT, yang baru bisa diterima pada usia 56 tahun. Terkait ini, katanya Jokowi sudah minta Menteri Ketenagakerjaan untuk revisi.
BPJS Kesehatan masih menuai protes, karena dikaitkan dengan syarat bikin SIM, STNK, dan lainnya.
Selain itu, harga BBM juga sudah naik, tidak lama lagi mungkin akan disusul tarif listrik. Dan lain-lain, dan lain-lain.
Dengan masalah yang terus meningkat, bagaimana mungkin survei terhadap popularitas Jokowi bisa naik terus?
Survei kalau tidak berbasis realita, atau manipulatif, bisa sangat bahaya. Survei seperti ini malah bisa mencelakakan posisi Jokowi.
Presiden mengira kebijakan publik yang diambil selama ini sudah benar, karena popularitas naik. Sehingga akan melanjutkan kebijakan tersebut, yang ternyata menuai protes masyarakat. Ini jelas bisa mencelakakan.
Popularitas naik dalam kondisi ekonomi morat-marit sulit bisa diterima akal sehat.
Kalau popularitas Jokowi mencapai 73,9 persen, artinya ada kenaikan sekitar 18 persen berasal dari nonpemilih Jokowi pada Pilpres 2019. Karena pemilih Jokowi hanya 55,5 persen. Ini juga dengan asumsi semua 100 persen pemilih Jokowi masih merasa puas.
Karena itu, 18 persen datang dari nonpemilih Jokowi yang berjumlah 44,5 persen. Jumlah ini artinya ada 40,4 persen (= 18 dibagi 44,5) dari populasi nonpemilih Jokowi yang merasa puas dengan kebijakan publik saat ini.
Apakah ini tidak menyesatkan?
Mungkin survei Litbang Kompas bisa melampirkan rinciannya bagaimana dan berasal dari kelompok mana kenaikan popularitas Jokowi diperoleh.
Seperti yang dilakukan lembaga survei di AS terkait survei popularitas Joe Biden, Presiden AS, baru-baru ini. Yang ternyata popularitasnya terus menurun, termasuk di partai pendukungnya sendiri.
Semoga Litbang Kompas juga bisa transparan untuk mencerdaskan masyarakat. Untuk itu diucapkan terima kasih.
(Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)