GELORA.CO - Wayang dan dalang bagi orang Jawa adalah sakral. Seorang dalang wajib memiliki kemampuan memainkan wayang, bercerita, dan tentu saja nembang. Tak hanya sekadar menggerakkan wayang dan asal bercerita di dalam suatu pertunjukan, seorang dalang wajib memiliki pemahaman dan keahlian khusus hingga status mereka di tengah-tengah masyarakat Jawa menjadi istimewa.
Waktu pasti kapan wayang pertama kali dipentaskan belum terdeteksi. Ada yang menyebut dimulai abad 9, 10 atau 11. Namun, dalam buku Sejarah Pedalangan yang ditulis Soetarno, Sarwanto dan Sudarko, tercatat pertunjukan wayang adalah sarana pemujaan roh leluhur. Saat itu masyarakat percaya roh leluhur bisa menampakkan diri sebagai bayangan di Bumi.
Pertunjukan wayang biasanya digelar untuk memperingati hari-hari Istimewa, seperti tradisi ritual ruwatan. Pementasan wayang kulit di ritual ruwatan akan menjadi puncak acara, di mana sebelumnya akan ada banyak sajian yang disiapkan pembuat acara.
Ruwatan atau Rukatan dalam bahasa Jawa diambil dari kata "Ruwat" yang berarti buang sial, penolak bala, hingga mengusir Batara Kala. Meski ritual ruwatan kental dengan budaya kejawen, tetapi dalam rangkaian acaranya juga ada pembacaan ayat suci Alquran sebagai wujud adanya akulturasi kebudayaan.
Dalam ritual itu juga diperlukan perlengkapan sajian. Seperti Air tujuh sumber, kembang setaman, degan (kelapa), jenang tujuh rupa, padi, jagung, tebu, tumpeng, jenang sengkala, ketupat dan lepet, tikar, bantal, pakaian bersih, dan uang koin. Selain itu, ada instrumen yang kudu ada, yakni sepasang cawisan (wedang putih dan wedang kopi pahit), serta dupa rokok dan minyak wangi.
Jika ritual ruwatan sudah selesai, acara yang tak kalah sakral yang dibalut dengan kesenian menjadi "gongnya", yakni pertunjukan wayang. Sebagai penguat jiwa, sang dalang wayang biasa mendaras sejumlah mantra atau doa sebelum pertunjukan untuk menghalau gangguan tak kasat mata.
Dalam Over den zin van Het Javaansche Drama (Makna dari Lakon wayang Jawa), W.H. Rassers menulis gangguan itu bisa berupa rubuhnya panggung wayang dan bisa menimpa dalang. Karena itu, untuk menangkal semua gangguan dalang memiliki mantra khusus. Mantra-mantra itu dilafalkan untuk membangkitkan kekuatan batin bagi dalang.
Seperti dinukil dari buku Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta karya B Sularto dan S Ilmi Albiladiyah, setidaknya dalang akan mendaras lima kalimat seperti mantra. "Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing (rumah dalang) kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan. Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutana sakarepku. Umat lanang umat wadon, andhedulu marang aku, teka demen teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah," tulis Slamet Sutrisno dalam 'Pedhalangan Jangkep' dalam buku tersebut.
Mantra yang didaras dalang adalah struktur kata-kata dengan perkawinan sejumlah bahasa, seperti bahasa Sangsekerta, Jawa Kuno dan Jawa Baru. Kata larik menurut Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra, termasuk ciri mantra yang paling menonjol.
Dengan mantra atau doa-doa tersebut, sang dalang diharapkan mampu menyelesaikan pertunjukan wayang semalam suntuk tanpa ada gangguan. Baik dari makhluk dunia lain, atau pun hal-hal tak terduga.
Sumber: republika