Said Iqbal Sebut Pemerintah Tidak Bosan Menindas Kaum Buruh

Said Iqbal Sebut Pemerintah Tidak Bosan Menindas Kaum Buruh

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Belum sepekan diundangkan, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 langsung disambut gelombang protes dari kalangan pekerja/buruh.

Sebab, permenaker yang diundangkan pada 4 Februari itu menyatakan bahwa jaminan hari tua (JHT) baru bisa dicairkan saat peserta berusia 56 tahun.


Akibat aturan baru tersebut, karyawan yang berhenti bekerja sebelum usia 56 tahun belum bisa menerima dana JHT. Baik itu berhenti bekerja karena mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.


Permenaker 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT akan berlaku tiga bulan setelah diundangkan. Dengan berlakunya aturan baru tersebut, Permenaker 19/2015 resmi dicabut.


Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebut, pemerintah seperti tidak bosan menindas kaum buruh. Dengan aturan itu, JHT buruh yang terkena PHK ketika berusia 30 tahun baru bisa diambil 26 tahun kemudian atau saat berusia 56 tahun.


Menurut dia, aturan tersebut sangat kejam bagi buruh dan keluarganya. Apalagi, pandemi Covid-19 belum usai dan ditambah merebaknya varian Omicron. Artinya, potensi PHK masih tinggi. Said meminta pemerintah mencabut Permenaker 2/2022. KSPI bakal berunjuk rasa bersama Partai Buruh di kantor Kemenaker jika tuntutan itu tidak didengarkan. Dia curiga ada maksud tersembunyi di balik terbitnya beleid tersebut.


”Apa urgensi di tengah kondisi sekarang ini dikeluarkan permenaker itu? Apa pemerintah kekurangan anggaran sehingga mau meminjam dana JHT untuk mempersiapkan gelombang Covid-19 atau pembangunan-pembangunan lainnya?” ujarnya.

Penolakan juga disuarakan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia). Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat menyatakan, JHT adalah hak pekerja. Sebab, iurannya dibayarkan pemberi kerja dan pekerja. ”Tidak ada alasan untuk menahan uang pekerja. JHT yang dikelola BPJAMSOSTEK adalah dana milik pekerja, bukan milik pemerintah. Jangan membuat kebijakan yang merugikan pekerja dan rakyat Indonesia!” serunya.

Dia menjelaskan, komposisi iuran JHT BPJAMSOSTEK dibayarkan pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulan. Besarannya 2 persen dari upah sebulan. Juga, 3,7 persen dari upah sebulan dibayar pemberi kerja atau perusahaan.

Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Dita Indah Sari menjelaskan, JHT merupakan amanat UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan turunannya. Tujuannya, pekerja menerima uang tunai saat sudah pensiun, cacat tetap, atau meninggal. ”JHT adalah kebun jati, bukan kebun mangga. Panennya lama. Jadi, sifatnya old saving,” ungkapnya saat dikonfirmasi terkait dengan JHT ini kemarin (12/2).

Dia memahami banyaknya keluhan soal JHT yang tidak bisa langsung diambil setelah PHK terjadi. Namun, kondisi itu sebetulnya sudah diantisipasi dengan program baru di BPJAMSOSTEK. Yakni, program jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) untuk korban PHK. Jadi, selain pesangon, korban PHK akan mendapat JKP dalam bentuk uang tunai, pelatihan gratis, hingga akses lowongan kerja (loker).

Dita menekankan, tidak ada iuran tambahan untuk JKP. Pemerintah telah menyetor dana Rp 6 triliun sebagai anggaran awal jaminan korban PHK ini. ”Dulu JKP nggak ada. Wajar jika dulu teman-teman ter-PHK berharap sekali pada pencairan JHT,” ujarnya.


Namun, karena kini sudah ada JKP dan pesangon, JHT digeser agar manfaat BPJAMSOSTEK bisa tersebar. JHT pun dikembalikan ke asalnya sebagai jaminan untuk hari tua sesuai dengan UU SJSN 40/2004.

Selain itu, lanjut dia, JHT bukan berarti tidak bisa diutak-atik sama sekali. Klaim JHT tetap bisa dicairkan untuk persiapan masa pensiun dengan ketentuan telah memenuhi masa kepesertaan minimal 10 tahun. Nah, nilai yang diklaim bisa sebesar 30 persen untuk perumahan atau 10 persen untuk keperluan lainnya. Aturan itu berlaku bagi peserta yang masih bekerja maupun yang mengalami PHK. ”Tanpa mengurangi total nilai yang diterima saat pensiun,” jelasnya.

Dia menegaskan, keputusan itu pun sudah dikonsultasikan dengan pekerja dalam forum Tripartit Nasional. Aturan tersebut merupakan wujud kehadiran negara pada saat ini dan masa depan. Apalagi, masa tua sangat penting.

Disinggung tentang petisi yang berisi penolakan masyarakat terhadap aturan JHT ini, Dita tidak mempersoalkannya. Menurut dia, wajar jika pendapat orang berbeda-beda. Pihaknya pun berusaha menjelaskan maksud dan tujuan dari aturan tersebut. ”Dulu UU Ciker (Cipta Kerja, Red) juga ditolak, dari petisi, demo, sampai ke MK. Ya, kami jelaskan terus,” katanya. 



Sumber: jawapos
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita