OLEH: TRIAS KUNCAHYONO
NOVELIS dan esais kondang dari Inggris, George Orwell (1903-1950), pernah mengatakan, dalam zaman kita ini tak ada yang namanya ‘lepas dari politik.’ Semua isu adalah isu politik.
Politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Kita tidak bisa lepas dari politik. Kita menerima ini. Sebab, terlalu banyak yang dipertaruhkan bila kita mengabaikannya Maka itu mengatakan, “Aku benci politik”, “Aku tak mau bersentuhan dengan politik”, “Aku tak mau berurusan dengan politik”, atau “Aku tak mau menjamah politik karena politik itu kotor”, adalah sebuah kebodohan.
Bukankah harga bahan makanan, harga bahan bakar, harga obat, harga pupuk, harga kedele, harga masker, harga rumah, dan lain-lainnya yang menyangkut kebutuhan hidup manusia bergatung pada keputusan politik.
Bukankah, politik ada dalam setiap asosiasi manusia—bahkan dalam keluarga juga—di mana ada keputusan harus dibuat, harus dilaksanakan, atau bagaimana sumber daya dialokasikan, peran didefinisikan, aturan dirumuskan, dan identitas ditegaskan. Politik muncul setiap kali ada ketidaksepakatan, ada konflik atas hal-hal tersebut di atas.
Politik memang sangat luwes. Ia dapat diterapkan di mana saja, kapan saja, dan atas siapa saja. Maka itu muncul berbagai ragam, model, dan nama sesuai dengan kepentingannya.
Ada politik dinasti, politik kuda hitam, politik kambing hitam, politik ken arok, politik abu nawas, politik identitas, politik belah bambu, politik agama, politik kebudayaan, politik kebo edan, politik kumpul kebo, politik markonah, politik transaksional, politik hati nurani, politik rendah hati dan lain sebagainya.
II
Apakah karena itu muncul tuduhan bahwa politik itu kotor? Tuduhan itu muncul mungkin karena seperti dikatakan oleh ilmuwan politik AS, Harold Lasswell, politik selalu berkait dengan pertanyaan, “siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana?” Atau mungkin seperti dikatakan oleh para hakim zaman Romawi dulu, yang selalu bertanya pada para penjahat yang diadili, “Siapa yang dapat keuntungan?”, “Cui bono?”
Mungkin—kenapa politik dituduh kotor—karena pertama-tama politik berurusan dengan mencari, merebut, dan mempertahankan kekuasaan. Dan, kekuasaan itu katanya kotor.
Untuk memperebutkan, apalagi mempertahankan, harus dilakukan dengan cara-cara keras, licik, intimidatif, tekanan, manipulatif, atau piawai dalam membujuk atau memeras. Lawan harus dipukul tanpa ampun sampai tak berdaya.
Kawan yang dirasa terlalu kuat dan membahayakan harus disingkirkan, sebelum potensi ancaman itu menjadi nyata. Bahkan, kawan yang paling dekat pun harus dikhianati. Maka ada ujar-ujaran, dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi adalah kepentingan.
Bila demikian, maka politik memang kotor. Karena demi yang namanya kekuasaan, maka segala cara dilakukan; yang haram pun menjadi halal. Tak ada lagi martabat politik atau politik bermartabat. Politik seperti berada di hutan rimba, yang akan mengikuti hukum siapa kuat akan menang, survival of the fittest (Herbert Spencer). Hal itu terjadi, karena menurut istilahnya Amy Chua (2018), “humans are tribal.”
Tetapi, seorang teman mengatakan: Bung, politik tidak dengan sendirinya kotor. Politik itu hanya kotor di tangan orang yang hati dan otaknya dipenuhi keserakahan, kelicikan, kepicikan, keirian, yang dilaksanakan hanya demi kekuasaan. Pada saat itulah politik menjadi kotor, jahat, dan penuh kekejaman.
Ketika itu, semuanya dipolitisasi. Bahkan, agama pun dipolitisasi. Yang tidak ada, diada-adakan. Yang sederhana, dirumit-rumitkan. Yang tenang-tenang saja, dibuat ramai, gaduh. Yang aman dan damai, dibuat rusuh. Yang rukun dibuat konflik. Yang terang benderang dibuat gelap gulita. Yang benar diganti kebohongan.
Kalau bisa bikin kisruh mengapa membiarkan semua berjalan lancar. Kalau bisa memecah-belah, mengapa mendorong persatuan.
Dengan cara begitu, politik tak ada hubungannya dengan idealisme. Bahkan, pelan namun secara pasti dan leluasa, politik berjalan menyimpang dari idealisme, bonum commune.
Politik pun berjalan tanpa moralitas, tanpa etika, tanpa hati nurani. Semuanya sudah mati. Maka yang namanya real politics itu menyimpang dari yang luhur dan mulia. Itulah politik wadas.
III
Disadari atau tidak, diakui atau tidak, media ikut merayakan politik wadas itu. Demi mengejar klik baik, media mengabaikan Kode Etik Jurnalistik. Padahal, jelas, ketentuan dalam Kode Etik Jurnalistik, misalnya: Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk; Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah; Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul
Mematuhi kode etik profesi sangat penting untuk menjaga agar jurnalis tidak menjadi bias dalam penyampaian informasi. Melanggar Kode Etik Jurnalistik akan kehilangan fungsi kontrol sosialnya. Padahal ciri khas dari sebuah edia massa adalah fungsi kontrol sosial.
Bukankah, sebagai pilar keempat demokrasi, media berperan sangat krusial dalam penyampaian kritik membangun kepada pemerintah serta melakukan cek fakta untuk menekan peredaran berita bohong.
Padahal, semestinya politik—juga informasi—itu menjadi terang di tengah kegelapan, keadilan di tengah berbagai macam kekejaman, sukacita di tengah begitu banyak luka, penyembuhan dan keselamatan di tengah penyakit dan kematian, kelemah-lembutan di tengah kebencian.