Mengapa Indonesia Tidak Bisa Jadi Bangsa dan Negara Maju?

Mengapa Indonesia Tidak Bisa Jadi Bangsa dan Negara Maju?

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


OLEH: JOHAN O. SILALAHI
PADA tahun 1945, Indonesia dan Korea Selatan hampir bersamaan memproklamirkan kemerdekaannya dari penjajahan Jepang. 

Proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Korea Selatan, memanfaatkan momentum saat Jepang dan Jerman menyerah kalah pada Amerika Serikat (USA) dalam Perang Dunia II.

Sejarah mencatat, Jepang dan Jerman menyatakan tunduk dan takluk kepada Amerika Serikat dan memohon bantuan pemerintah Amerika Serikat untuk membangun kembali bangsa dan negaranya, agar bisa menjadi bangsa dan negara maju di dunia. Tentunya dengan kesepakatan menjadi sekutu abadi bagi Amerika Serikat (USA).


Pada awal kemerdekaan, Indonesia relatif lebih berkembang dibanding Korea Selatan. Saat itu, Korea Selatan juga memiliki masalah laten yang sama, mismanajemen pemerintahan akibat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang masif terjadi di kalangan elite politik dan elite pemerintahan.

Akhirnya terjadi kudeta kepemimpinan nasional di Korea Selatan, kemudian Presiden Korea Selatan yang baru Park Cung Hee, memilih untuk menjadi sekutu Amerika Serikat dan mendapatkan dukungan dan bantuan penuh, hingga akhirnya Korea Selatan menjadi bangsa dan negara maju.

Bangsa dan negara kita Indonesia, hingga kini masih terus bergelut dengan berbagai masalah kompleks yang diwariskan sejak zaman penjajahan Belanda (VOC), Portugis dan Jepang.

Pada era transparansi dan keterbukaan sekarang ini, berhadapan dengan pencitraan dan propaganda pemerintah yang sedang berkuasa, karena kecintaan saya kepada bangsa dan negara kita, saya akan uraikan secara objektif berbagai fakta dan data, mengapa Indonesia tidak bisa jadi bangsa dan negara maju:

1. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin masif, semakin mengakar dan sudah menjelma jadi sifat, karakter, perilaku dan budaya bangsa Indonesia, yang konsisten diturunkan dari generasi pendahulu ke generasi berikutnya.

Pengalaman pribadi saya selama hampir 20 tahun mengikuti dan mengamati sangat dekat di lingkaran dalam Presiden RI dan Wakil Presiden RI serta para Menterinya, para elite pemimpin di Indonesia gagal total terkait korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), karena dengan atau tanpa sadar telah terlibat dan ikut terus menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“Kutukan periode kedua” sungguh nyata terjadi mulai dari tingkat pemimpin tertinggi Presiden RI hingga para Kepala Daerah di seluruh Indonesia. Pada periode pertama mereka menjalankan amanah dengan sangat hati-hati dan berusaha mengambil hati dan simpati rakyat dengan dukungan operasi pencitraan yang masif, supaya lebih mudah untuk terpilih kembali pada periode kedua (periode terakhir).

Kemudian, begitu dimulai periode kedua, mereka dengan agresif dan masif melakukan segala cara untuk kaya raya dan mengeruk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, “aji mumpung” karena kesempatan terakhir menjabat, bisa mengeksploitasi dan menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan para kroninya.

Yang sangat memprihatinkan selama 2 (dua) periode Presiden Jokowi; korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat masif, diturunkan hingga ke desa-desa dengan adanya transfer dana desa dari pemerintah pusat ke daerah.

Maka lengkaplah sudah sifat, perilaku, karakter dan budaya korupsi di Indonesia, terjadi mulai dari pemerintah pusat hingga ke pemerintah daerah di seluruh Indonesia, kemudian turun sampai ke desa-desa di seluruh pelosok tanah air.

Bahkan yang sangat biadab, demi bisa mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat, rakyat miskin di pedesaan masih harus menyiapkan uang suap kepada para aparatur di desanya. Bagaimana mungkin Indonesia bisa jadi bangsa dan negara maju dengan tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat masif dari sejak merdeka hingga kini?

2. Maraknya praktik hukum dan keadilan yang diperdagangkan dan diperjualbelikan, sehingga tidak ada kepastian hukum di Indonesia. Hingga detik ini, penegakan hukum di Indonesia semakin menuju titik nadir, pada fase yang sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia.

Sudah menjadi rahasia umum, pada semua tingkatan mulai dari proses penyidikan, penuntutan, hingga vonis oleh hakim, yang terjadi di negara Kita adalah hukum dan keadilan memihak kepada siapa yang mampu membayar lebih besar. Nyaris tidak ada perubahan apapun di Indonesia paska reformasi, yang terjadi malah semakin dalam terperosok, bahkan dapat diklasifikasikan Indonesia sudah termasuk dalam kelompok “failed state” (negara gagal), dari segi ketidakpastian hukum serta tidak adanya keadilan.

Indonesia sudah dalam keadaan gawat darurat, dalam hal penegakan hukum dan lenyapnya keadilan. Jika tidak ada Presiden RI berikutnya yang “mau” dan “mampu” melakukan “revolusi” dan “perbaikan total” sistim penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, maka bisa dipastikan Indonesia akan abadi masuk dalam kelompok negara gagal (failed state), karena ketidakpastian hukum dan tidak adanya keadilan.

Sungguh disesalkan jika Presiden Jokowi masih bisa mentolelir besar atau kecilnya tingkat korupsi aparatur negara, karena berkorelasi langsung dengan penegakan hukum di Indonesia yang semakin suram dan kelam.

Jika penegakan hukum di Indonesia “tetap tumpul ke atas dan tajam ke bawah”, serta keadilan dan kebenaran hanya berpihak kepada “siapa yang mampu membayar yang terbesar”, serta kekuatan uang suap bisa mengubah “yang salah jadi benar, yang benar jadi salah”, maka tidak mungkin Indonesia bisa jadi bangsa dan negara maju.

3. Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia meningkat pesat, tapi jurang kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin semakin dalam. Karena kontributor utama yang signifikan terhadap peningkatan GDP atau PDB Kita berasal dari berbagai perusahaan raksasa global, berbagai perusahaan investasi dari luar negeri, perusahaan para konglomerat Indonesia, serta sebagian kalangan orang kaya di Indonesia.

Keadaan Indonesia berbeda seperti langit dan bumi dengan China, India, Vietnam, Thailand, Malaysia dan negara lainnya, karena GDP atau PDB negara mereka, selain disumbang oleh berbagai perusahaan global serta investasi dari luar negeri, tapi perekonomian nasional mereka juga tumbuh dan stabil karena menghasilkan banyak industri lokal dan jutaan orang kaya baru, yang berbasis pada penciptaan “added value” (nilai tambah) bagi bangsa dan negaranya.

Artinya, pemerataan ekonomi di kalangan seluruh rakyatnya, serta kesenjangan sosial antara yang kaya dan yang miskin tidak membahayakan dan mengancam stabilitas nasional negaranya. Sementara peningkatan GDP atau PDB Indonesia persis seperti pisau bermata dua, karena sama sekali tidak mencerminkan keadilan sosial di antara seluruh rakyat Indonesia.

Anomali dan kegagalan yang terjadi di Indonesia adalah “yang kaya semakin kaya, dan yang miskin semakin miskin”.

4. Percepatan dan ledakan utang NKRI sangat masif dan dahsyat. Sesungguhnya sangat mudah dibuat simulasi sederhana terkait ledakan utang yang sangat dahsyat selama 2 periode pemerintahan Jokowi.

Dapat dibandingkan kurva grafik percepatan dan pertumbuhan utang NKRI bersama kurva grafik proyeksi pertumbuhan ekonomi serta kurva grafik proyeksi penerimaan atau pendapatan negara dari sektor pajak dan non pajak, yang bisa digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk membayar bunga dan pokok utang.

Dari simulasi tersebut akan bisa disimpulkan bahwa Pemerintah RI, sangat potensial akan tertinggal dan tidak akan mampu membayar bunga dan pokok utang yang luar biasa dahsyat selama 2 periode pemerintahan Jokowi. Jika mau lebih akurat memprediksi dan menggambarkannya dengan memasukan berbagai variabel determinan, maka bisa dibuat secara komprehensif dan holistik simulasinya dengan berbasis pada “artificial intelligent (AI)”.

Saya memprediksi salah satu diantara sekian banyak faktor yang menjadi alasan Presiden Jokowi didukung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dengan grusa-grusu dan terburu-buru mau memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru ke Kalimantan, juga terkait kepada lonjakan aset negara serta potensi pendapatan dari sektor pajak.

Bisa kita bayangkan bahwa pemerintah RI akan punya tambahan aset negara serta pendapatan pajak yang nilainya fantastis, setelah “bubble effect” kenaikan harga tanah dan aset negara di IKN yang baru. Tidak heran kenapa Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti yang diberitakan berbagai media, bisa sampai terjebak “off side”, karena seolah-olah ikut “mengoreng” kenaikan harga tanah di Ibu Kota Negara yang baru di Kalimantan.

Strategi dan taktik ini sesungguhnya “semu”, karena Ibu Kota Negara (IKN) yang baru bukan merupakan aset produktif yang potensial memberikan “added value” atau nilai tambah bagi sistim perekonomian nasional kita.

5. Industri nasional atau industri lokal Kita sama sekali tidak berkembang, yang terjadi malah kemunduran industri atau de-industrialisasi. Industri nasional atau industri lokal di Indonesia tidak menjadi “core competence” dan tulang punggung sistem perekonomian bangsa dan negara kita. Padahal salah satu persyaratan utama dan ciri dari negara maju adalah kemajuan industri dalam negerinya.

Walaupun hampir bersamaan merdeka dari penjajahan Jepang, Pemerintah Indonesia dari sejak merdeka hingga sekarang, tidak bisa menyerap rahasia dan kunci keberhasilan Pemerintah Korea Selatan, bagaimana strategi dan taktik Pemerintah Korea Selatan membangun bangsa dan negaranya dari ketertinggalannya dibandingkan Indonesia, hingga sekarang akhirnya menjadi salah satu bangsa dan negara maju di dunia.

Pemerintah Korea Selatan berhasil merumuskan “grand design” dan mewujudkan pembangunan dan pengembangan industri nasional bangsa dan negaranya, hingga akhirnya meninggalkan Indonesia jauh di belakang.

Sekarang Indonesia akan tertinggal lagi oleh India, karena dengan bantuan Amerika Serikat akan segera menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia baru menyusul China, karena tumbuh dan berkembang pesat industri global dan industri lokal di India.

6. Hampir semua industri smelter yang berkembang pada era pemerintahan Jokowi, merupakan investasi asing dan sepenuhnya milik asing. Semuanya berbasis pada kekayaan sumber daya alam (“natural resources”) karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, yang diperkirakan cadangannya akan habis sekitar 50 tahun ke depan.

Bahkan ironisnya, mayoritas cadangan nikel dan bahan tambang lainnya di Indonesia telah dikuasai oleh asing. Pada saat cadangan bahan tambang dan berbagai kekayaan sumber daya alam lainnya habis, maka seluruh industri smelter tersebut akan tutup dan Indonesia akan kehilangan sumber pendapatan utamanya.

Indonesia berpotensi menjadi negara miskin saat kekayaan sumber daya alam (SDA) sudah habis dikeruk, sementara industri nasional yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta inovasi yang dikembangkan para inventor lokal dari bangsa Indonesia sendiri, sama sekali tidak berkembang, karena memang ditelantarkan.

Pemerintah Indonesia tidak memiliki strategi jangka panjang akan dibawa kemana industri masa depan yang akan menjadi tulang punggung perekonomian nasional Kita. Karena dari sejak merdeka hingga sekarang, Indonesia tidak memiliki “grand design” untuk menjadi negara industri yang kuat dan diperhitungkan di dunia.

Semakin blunder dan perlu disesalkan, karena Presiden Jokowi telah menjerumuskan generasi muda Indonesia yang harusnya bisa menjadi motor perekonomian bangsa dan pembangunan industri nasional, malah ditarik ke dalam politik dan sistim birokrasi pemerintah.

7. Sektor pertanian, perkebunan, kehutanan dan agrobisnis tidak berkembang, malah semakin menurun dan berkurang lahan produktifnya. Indonesia memiliki perkebunan sawit dan penghasil CPO terbesar di dunia, tapi dimiliki oleh asing dan beberapa konglomerat di Indonesia.

Aneh tapi nyata, Indonesia sama sekali tidak bisa memainkan peran sentral di pasar CPO dunia. Percaya tidak percaya, bahkan sekarang ini seluruh rakyat Indonesia sangat menderita karena kelangkaan minyak goreng, hingga harus antri dan dijatah membelinya, persis seperti masa penjajahan dulu.

Indonesia hingga detik ini, juga masih harus mengimpor seluruh bahan pangan kebutuhan pokok hidup rakyatnya. Artinya devisa negara kita terus menerus disedot ke luar negeri, hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup rakyat Indonesia. Sementara sumber penghasil devisa negara kita, yang digunakan untuk membiayai impor semua kebutuhan pokok hidup rakyat, bersumber dari eksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA) yang akan habis tidak lama lagi.

Swasembada pangan dan ketahanan pangan hanya ilusi dan mimpi yang diwacanakan secara berkesinambungan oleh pemerintah RI dari waktu ke waktu. Impor seluruh kebutuhan pokok pangan di Indonesia terus berlangsung seiring pergantian rezim pemerintah yang berkuasa, karena para pemimpin, para politisi dan dan para konglomerat di Indonesia menikmati keuntungan dari seluruh impor bahan pangan tersebut.

Kita jadi bangsa yang ‘kufur nikmat’, karena telah dikaruniakan Tuhan YMK tanah yang begitu subur dengan limpahan sinar matahari sepanjang tahun, tapi untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh rakyatnya, kita harus terus-menerus mengimpor dari luar negeri. Bagaimana mungkin Indonesia bisa jadi bangsa dan negara maju?

8. Pendidikan kita tidak berkembang kualitasnya, sekolah negeri terbatas kapasitasnya, sementara tarif dan biaya sekolah swasta semakin meroket, tidak masuk akal dan tidak terjangkau. Yang mampu membayar sekolah swasta berkualitas hanya sekelompok kecil orang kaya di Indonesia.

Bagaimana mungkin Indonesia bisa jadi bangsa dan negara maju, jika tingkat rata-rata kecerdasan intelektual (IQ) bangsa Indonesia berada pada peringkat 130-an, pada jajaran terendah di antara bangsa dan negara lain di seluruh dunia.

Bahkan IQ rata-rata bangsa Indonesia masih dibawah IQ rata-rata Timor Leste yang baru dimasukkan dalam kelompok negara miskin dan terancam jadi “negara gagal”, serta dibawah Papua New Guinea.

Dengan data dan fakta tingkat kecerdasan rata-rata bangsa Indonesia yang sangat rendah ini, tidak mungkin Indonesia bisa membangun perekonomian nasional yang kuat dan tangguh, serta jadi bangsa dan negara maju.

9. Kualitas kesehatan rata-rata bangsa Indonesia berada pada peringkat bawah di dunia. Berdasarkan laporan “The Legatum Prosperity Index 2017”, Indonesia  berada pada posisi 101 dari 149 negara. Tingkat harapan hidup bangsa Indonesia juga masuk dalam jajaran bawah di dunia. Indonesia berada pada peringkat 122 dari 195 negara di dunia.

Angka kecukupan gizi bangsa Indonesia juga termasuk jajaran bawah di antara seluruh bangsa di dunia. Berdasarkan “World’s Most Literate Nations, tingkat literasi gizi Indonesia berada pada urutan dua terbawah, peringkat 60 dari 61 negara di dunia yang disurvei.

Bahkan tingkat kelaparan di Indonesia mencatat rekor peringkat tiga tertinggi di Asia Tenggara pada tahun 2021. Bagaimana mungkin Indonesia bisa jadi bangsa dan negara maju, jika kwalitas kesehatan, tingkat harapan hidup, angka kecukupan gizi dan tingkat kelaparan yang tinggi seperti ini?

Kualitas pelayanan kesehatan serta pendidikan di bidang medis dan kesehatan di Indonesia, juga persis sama seperti pada sektor pendidikan pada umumnya. Saya baru saja menyaksikan dan membuktikan sendiri, baru-baru ini selama sekitar 2 minggu putri bungsu saya dirawat di salah satu rumah sakit di kota kecil di Amerika, bagaimana standar kualitas pelayanan kesehatan serta standar kualitas para dokter dan para perawat di Indonesia, ketinggalan puluhan tahun dibandingkan dengan di Amerika.

Saya juga mendengarkan keluhan beberapa Dokter alumni fakultas kedokteran berbagai universitas di Indonesia yang memilih menetap dan berprofesi sebagai dokter di Amerika dan negara maju lainnya, bagaimana “feodalisme” pendidikan kedokteran kita dan ketertinggalan program pendidikan fakultas kedokteran di Indonesia.

Hal ini juga sudah saya sampaikan secara komprehensif beberapa waktu lalu kepada Menko Marves Luhut B Panjaitan. Kita seperti bermimpi di siang bolong, saat Presiden Jokowi menyatakan bahwa pembangunan kawasan ekonomi khusus untuk perawatan kesehatan di Bali, akan bisa memotong aliran devisa negara sekitar 100 triliun rupiah dari Indonesia ke Amerika, karena sebagian rakyat Indonesia lebih memilih untuk berobat ke Amerika.

Tidak dapat Kita bayangkan akan seperti apa kecewa dan frustasinya para Dokter yang didatangkan dari rumah sakit terbaik Mayo Hospital di Amerika, begitu berinteraksi dengan sistim pelayanan kesehatan di seluruh rumah sakit di Indonesia, yang standarnya masih tertinggal puluhan tahun dengan standar pelayanan kesehatan di Amerika.

10. Kemunafikan dan hipokritisme menjadi tren dan wabah baru yang melanda bangsa Indonesia, bahkan sudah sampai pada generasi milenial. Salah satu contohnya banyak generasi muda milenial, yang dicitrakan seolah-olah kaya luar biasa.

Kita tidak pernah tahu persis seperti apa dan bagaimana bisnisnya dan dari mana sumber kekayaannya yang begitu fantastis dan luar biasa. Ini menjadi preseden buruk karena sangat fatal merusak moral (demoralisasi) generasi penerus selanjutnya.

Bahkan hal ini juga dilakukan oleh putra-putri para pemimpin tertinggi yang seharusnya bisa menjadi contoh dan teladan bagi bangsa Indonesia paska reformasi tahun 1998. Artinya reformasi moral dan reformasi kultural berbagai sifat, karakter dan perilaku buruk pada masa lalu telah gagal total.

Yang mengerikan dan sangat membahayakan, sekarang ini, operasi pencitraan dan rekayasa terhadap kinerja dan prestasi para pejabat publik, mulai dari Presiden RI serta para menteri dan para Kepala Daerah, sudah menjelma menjadi perilaku dan budaya baru di negara kita.

Bahkan ada menteri yang sesungguhnya prestasinya “abal-abal”, tapi terus menerus mencitrakan dirinya dan kementerian yang dipimpinnya, seolah-olah berhasil dan sukses luar biasa, karena ambisi dan targetnya untuk menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI pada Pilpres 2024 nanti.

Sungguh aneh tapi nyata, para atasannya seperti “kesirep” dan malah seolah-olah mempersiapkan dan mendukungnya, agar bisa menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI berikutnya.

Sungguh tidak dapat dibayangkan akan seperti apa masa depan bangsa dan negara Kita, jika Indonesia terus menerus dipimpin oleh para pemimpin “gadungan” yang perilaku dan kemampuan utamanya adalah pencitraan serta merekayasa ilusi. Padahal potret keadaan Indonesia sudah sangat nyata menggambarkan bahwa bangsa dan negara kita sudah di tepi jurang menunggu jatuh menjadi bangsa dan negara yang gagal (failed state).

Menjadi catatan penting bagi siapapun Presiden RI kedepan, karena situasi kritis sudah menuju titik nadir bangsa dan negara Kita saat ini, jangan pernah mengulangi kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Presiden Jokowi.

Jokowi seperti sangat terpukau dan terpesona pada figur-figur para pebisnis yang kaya raya dalam bisnis dan langsung memilih mereka menjadi Menteri, tanpa melihat integritas moralnya serta “track record” (rekam jejak) di masa lalu, darimana dan bagaimana Ia bisa menjadi kaya raya.

Karena tidak ada jaminan dan korelasinya sama sekali, bahwa pebisnis sukses atau orang yang sudah kaya raya 7 (tujuh) turunan, maka Ia tidak akan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Bahkan sudah terbukti yang sering terjadi semakin kaya raya, malah kerakusan dan ketamakan semakin membawanya untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada tingkat yang sangat spektakuler. Karena sifat, perilaku, karakter dan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sudah berurat dan berakar pada bangsa Indonesia.

Inilah yang akan menghancurkan dan melumatkan bangsa dan negara kita ke depan. 

(Penulis adalah Pendiri Negarawan Indonesia)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita