GELORA.CO - Rusia dilaporkan telah menyerang sampai 5 oblast atau provinsi di Ukraina sejak peluncuran invasi skala penuh yang dimulai pada Kamis (24/2) dini hari.
Layanan Penjaga Perbatasan Negara menyebut bahwa 5 oblast yang diserang yakni Luhansk (di bagian timur), Sumy (di bagian timur-laut), Kharkiv (di bagian timur-laut), Zhytomyr (di bagian utara, barat Kiev), dan Chernihiv (di bagian utara, timur Kiev), dikutip dari The Kyiv Independen.
Sejak Kamis (24/2) dini hari waktu Ukraina, beberapa ledakan sudah terjadi di sekitar ibu kota Kiev. Misil-misil Rusia juga dilaporkan menyasar beberapa bandara utama di Ukraina.
Pecahnya perang ini direspons pasar komoditas global. Harga minyak mentah Brent mencapai level tertinggi USD 101,34 per barel di awal perdagangan Asia, tertinggi sejak September 2014. Minyak mentah jenis WTI AS juga melonjak USD 4,22 atau 4,6 persen menjadi USD 96,32 per barel, setelah naik ke USD 96,51, juga tertinggi sejak Agustus 2014.
"Harga minyak tembus USD 100 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014 pada Kamis ini, ketika Rusia memindahkan pasukan ke Ukraina," demikian laporan Reuters, Kamis (24/2).
Reuters menyebut aksi Rusia yang menyerang Ukraina akan memicu kekhawatiran terjadinya perang di Eropa dapat mengganggu pasokan energi global. Kekhawatiran ini dilatarbelakangi oleh status Rusia yang merupakan produsen minyak terbesar kedua di dunia, yang sebagian besar menjual minyak mentah ke kilang Eropa.
Bagaimana dampaknya pada Indonesia?
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan, memprediksi harga minyak dunia bisa mencapai USD 120-130 per barel di tahun ini, didorong konflik Ukraina-Rusia dan keterlibatan Amerika Serikat (AS) di dalamnya.
"Banyak yang meramalkan kenaikan harga tahun ini akan mencapai di USD 120-130 per barel. Estimasi saya juga demikian. Harga minyak akan berada di kisaran tersebut seiring konflik yang semakin memanas," ujar Mamit saat dihubungi kumparan.
Kondisi ini tentunya akan berdampak kepada kondisi industri migas di dalam negeri. Mamit menuturkan, ada beberapa keuntungan yang bisa dimanfaatkan Indonesia ketika harga minyak dunia terkerek drastis.
Pertama, keuntungan bagi Indonesia ada di sektor hulu migas. Dengan kenaikan ini maka harga minyak mentah Indonesia (ICP/Indonesian Crude Price) akan mengalami kenaikan di atas asumsi APBN 2022. Ini akan meningkatkan pendapatan negara, baik dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) maupun dari pajak lain di sektor migas.
"Selain itu, kenaikan ini harus bisa memacu kegiatan hulu migas untuk mengejar lifting yang ditetapkan atau bahkan melebihi, mengingat harga keekonomian sedang dalam posisi yang bagus. Kegiatan hulu migas juga harusnya bisa tumbuh dengan kenaikan ini dalam rangka mengejar target lifting," lanjut Mamit.
Dengan demikian, jelas Mamit, kegiatan pengeboran dan kegiatan eksploitasi minyak berupa Workover Well Service (WOWS) atas sumur existing akan semakin banyak. Selain itu, tenaga kerja hulu migas juga akan makin terserap.
"Industri penunjang hulu migas juga bisa tumbuh. Kegiatan eksplorasi dan Enhanced Oil Recovery (EOR) bisa jadi momentum untuk dimulai secara optimal," kata dia.
Potensi Kenaikan Harga BBM dan Tarif Listrik
Namun, kondisi kenaikan harga minyak ini akan berdampak negatif kepada sektor hilir migas. Salah satunya beban subsidi sektor energi bagi pemerintah akan terus bertambah seiring dengan kenaikan ICP, serta tekanan besar bagi keuangan perusahaan yang bergerak di sektor migas.
"Harga BBM dan tarif listrik akan meningkatkan beban subsidi. Selain itu, harga BBM umum non subsidi juga akan mengalami kenaikan. Perusahaan seperti Pertamina yang sampai saat ini harga Pertamax belum bisa dinaikan akan semakin tertekan keuangan mereka," jelas Mamit.
"Begitu juga kompensasi untuk Pertalite yang hanya 50 persen tetap kurang membantu. Harusnya kompensasi yang diberikan 100 persen bagi Pertalite ini mengingat harganya sudah jauh di bawah keekonomian," imbuhnya.
Senada dengan Mamit, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menjelaskan konflik geopolitik di perbatasan Ukraina tersebut akan membuat harga komoditas minyak mentah dunia pada level tertinggi.
Kondisi ini juga diperparah dengan menurunnya produksi minyak mentah di seluruh dunia. Hal tersebut membuat harga minyak terus meroket di tengah permintaan yang tinggi.
"Jika produksi tidak segera dapat mengimbangi permintaan/konsumsi, harga berpotensi menyentuh kisaran USD 100 USD per barel. Bagi Indonesia relatif kurang diuntungkan, mengingat (Indonesia) sudah menjadi net importir," tandasnya.
Sumber: kumparan