GELORA.CO - Petugas gabungan dari TNI, Polri, Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH) Kabupaten Aceh Barat, melarang jemaah untuk melaksanakan ibadah salat Jumat di Musala Jabir Al-Ka’biy, Desa Drien Rampak, Kecamatan Johan Pahlawan, Jumat (11/2).
Larangan itu dilakukan lantaran karena tempat ibadah tersebut belum mengantongi izin sebagai masjid dari pemerintah setempat. “Sementara Musala Jabir ini belum ada legalitasnya sebagai masjid, kalau sudah ada legalitas sebagai masjid, baru diperbolehkan kembali. Ini memang aturan dari Allah dari Al Qur’an,” tegas Kasatpol PP dan WH, Azim kepada Jurnalis.
Amatan di lokasi, puluhan petugas gabungan berjaga di pekarangan, pintu masuk dan pintu belakang. Petugas pun mengalihkan jemaah ke masjid terdekat.
Azim mengakui pemerintah sudah cukup sering memberikan himbauan kepada pengurus musala terkait dengan legalitas. Petugas pun akhirnya duduk bersama pengurus untuk melakukan mediasi. “Hasil dari kesepakatan tadi, salat Jumat dihentikan, sampai adanya legalitas masjid di sini baru bisa diadakan kembali (salat Jumat). Tapi untuk pelaksanaan ibadah lima waktu dipersilahkan,” ujar Azim.
Bupati Larang Aktivitas Ajaran Wahabi
Pemerintah Aceh Barat telah mengeluarkan surat larangan aktivitas ajaran Wahabi Salafi yang selama ini dipusatkan di Musala Jabir Al-Ka’biy tersebut. Keputusan itu dituangkan dalam Surat Bupati Aceh Barat Nomor: 300/75/2022 tanggal 28 Januari 2022 yang ditandatangani Bupati Aceh Barat, H. Ramli MS, dan ditembuskan kepada berbagai pihak termasuk Forkopimda.
Sementara itu pengurus Musala, Arham menjawab adanya kabar jamaah di tempatnya kajian Salafi, benar atau tidak, pihaknya tak membantah akan isu miring tersebut. Namun apa yang mereka lakukan dan kaji sudah sangat sesuai dengan aturan atau kebijakan Pemerintah Aceh.
“Kami tidak bisa menjawab benar atau tidak. Menurut versi kami, tidak bertentangan dengan qanun yang dikeluarkan pemerintah Aceh, bahwa ajaran islam boleh diterapkan di Aceh dengan ketentuan harus dengan Mahzab Syafi’i, jika ada mahzab lainnya tentu itu tidak sesuai dengan koridor, kita melaksanakan di sini tentu tidak keluar dari ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah,” jelas Arham kepada wartawan.
Jika ragu, Arham mengajak pihak lainnya untuk ikut tabayyun di Musala Jabir, untuk melihat apakah mereka sudah melenceng dari ajaran yang ada, atau tidak sama sekali. Jikapun salah dirinya mengaku siap ditegur dan mengikut ajaran yang benar.
Ia menjelaskan, pihaknya berdiam diri meski diterpa kabar tak sedap tentang ajaran Islam, bukan berarti ia tak mau berbicara. Namun, berdasarkan ajaran Islam, mereka memilih bertahan dan tidak mau menyudutkan siapapun. “Karena kami tidak bisa membenarkan diri kami sendiri, yang bisa membenarkan adalah orang lain. Jumlah jemaah kita di sini setidaknya ada 200 orang, kalau dilihat dari perkembangan maka jemaah semakin bertambah,” ujarnya.
Menyikapi pelarangan ibadah salat Jumat, Arham mengaku sedih dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah. Para pengurus Musala Jabir nantinya akan melakukan pengurusan kembali atas peningkatan status izin dari Musala ke Masjid sebagaiman aturan yang berlaku.
Pada tahun 2019, pihaknya mengaku sudah mengajukan pengurusan izin. Syarat yang dilampirkan kemudian disebut tidak mencukupi dan tidak mendapat rekomendari dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Barat. “Secara hati nurani dan mengikuti kaidah kita sedih, tapi demi kemashalatan umat dan kebersamaan, kita rela mengorbankan itu,” pungkasnya. []
Sumber: kumparan