OLEH: H. DHENI KURNIA*
KAMI bahagia ada menteri kabinet Jokowi datang ke Riau, hanya untuk mengukuhkan Ketua Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Negeri (IKA UIN) Riau yang baru. Kami juga bahagia, yang dilantik jadi Ketua Umum IKA, adalah keluarga dekat kami, Abdul Wahid.
Wahid ini masih muda, pintar, cerdas dan gagah pula. Selain anggota DPR-RI, dia juga ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Riau dan salah satu calon pemimpin Riau ke depan. Kami bahagia. Sungguh!
Tapi kebahagiaan itu tak lama. Karena setelahnya, sang menteri agama yang bernama Yaqut Cholil Qoumas itu, diduga berkata-kata tidak pantas dan menyakitkan ummat, suhubungan dengan aturan pengeras suara di mushala atau di mesjid.
Menurut Yaqut, boleh menggunakan toa (pembesar suara) tapi suaranya harus diatur. Karena jika sekali berbunyi, apalagi jaraknya berdekatan, bisa mengganggu. Misalnya, seperti suara anjing yang terus menyalak, dalam jumlah banyak, pasti akan mengganggu.
Pernyataan menteri agama ini, langsung memancing banyak pihak bersuara. Banyak yang kontra dari yang mendukung. Dan seketika, berita pelantikan Abdul Wahid pun tenggelam. Orang tak membahasnya lagi. Yaqut lalu dilaporkan ke polisi. Hampir semua media sosial, penuh berita Yaqut dan anjing.
Sejumlah tokoh adat juga mengamuk. Fauzi Bahar dari Sumbar, melarang Yaqut menginjak tanah Sumatra Barat. Raja Marjohan, Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, meminta presiden segera menghukum Yaqut.
Sebenarnya, entah apa yang membuat Yaqut, memberikan contoh gonggongan anjing untuk suara azan. Padahal dia menteri agama yang beragama Islam. Dia tahu pasti, anjing itu, najis di dalam Islam. Orang yang dijilat anjing, harus mencuci bekas jilatan sebanyak tujuh kali. Bahkan Rasulullah SAW, melarang ada anjing di rumah. Karena rumah yang ada anjing, tak akan didatangi malaikat.
Juga, entah apa yang tiba-tiba membuat anjing menjadi viral. Entah apa yang membuat anjing menjadi berita utama di media online dan televisi. Entah apa salah si Anjing? Padahal, saya seumur hidup belum pernah mendengar anjing menggonggong bersamaan dengan suara azan. Anjing seperti mengerti, bahwa azan itu untuk memanggil orang shalat. Jadi dia tahu diri juga.
Anjing ini binatang yang peka. Menurut seorang ilmuan, anjing paham juga keinginan tuannya. Dia akan diam bila disuruh diam. Dia tidak akan menggonggong jika tak ada hal yang luar biasa. Jika ada yang aneh, baru dia menyalak. Misalnya, dia mendeteksi pergerakan serta perubahan suhu dengan cara yang tidak dapat dilakukan manusia.
Selain itu, anjing dapat mendengar frekuensi dua kali lebih banyak daripada manusia. Mereka dapat menangkap suara yang jaraknya empat kali lebih jauh dari yang dapat dideteksi manusia. Makanya, jika dia menggonggong tanpa sebab, bisa saja dia melihat makhluk halus sebangsa jin, iblis atau syetan.
Selama ribuan tahun, kata seorang Dokter Hewan bernama Matthew McCarthy, anjing tidak hanya menjadi pengamat perilaku manusia yang cerdik, tetapi juga impresionis yang terampil.
Jika ada yang percaya pada syetan atau hantu dan mulai merasakan bahwa sesuatu yang berhubungan dengan dunia astral sedang terjadi, anjing akan tahu lebih dulu. Biasanya, anjing akan menyimpan ekornya ke dalam dua pahanya.
Wah. Kenapa pula saya ikut larut cerita anjing. Padahal yang dibahas ucapan seorang menteri agama. Mungkin karena persoalan utamanya adalah anjing. Anjing yang tak bersalah. Anjing yang sebenarnya bisa menjaga manusia, anjing yang paham dunia astral dan lain sebagainya. Tapi gara-gara cerita gonggongan anjing inilah, Yaqut harus berurusan dengan hukum.
Kini kasus dan masalah ini makin mendalam. Seperti menggaruk kudis. Makin digaruk, makin luka. Macam menggumpal benang. Makin dikumpal, makin kusut. Entah siapa yang salah dan entah mana yang benar. Entah Yaqut yang tak bijak, entah orang yang memang tak suka dengan Menag yang bukan berlatar santri atau kiyai itu.
Bisakah Yaqut diganti atau dihukum? Tergantung hukum yang mana. Yang pasti, jika Presiden RI Jokowi mengerti apa yang timbul di tengah masyarakat, bisa saja. Gak ada yang gak bisa bagi Pak Jokowi. Yang gak bisa, jika dia gak mau.
Tapi sebagai rakyat, mungkin saya bisa juga memberi masukan kepada Pak Presiden. Antara lain; pilihlah menteri yang cerdas dan pintar yang akan mendukung kebijakan presiden untuk negeri ini. Jangan memilih menteri yang memilih diksi atau pilihan kata saja tidak bisa. Yang membuat rakyat tenang saja sangat susah.
Kenapa untuk mencontohkan suara azan saja, harus melibatkan gonggong anjing? Anjing yang meski tak bersalah, tapi kesannya sangat menghina dan melecehkan orang Islam. Kita tahu, bahwa azan merupakan bentuk pengagungan kebesaran Allah serta ajakan shalat. Menyandingkannya dengan suara anjing yang menggonggong sungguhlah sebuah kekeliruan.
Jika Pak Presiden berkenan, Yaqut ini, bisa diberi sanksi bahkan dihukum. Ucapannya, masuk kategori tindak pidana 156a KUHP; yaitu unsur perbuatan tindak pidana berupa pelecehan, merendahkan terhadap suatu keyakinan ajaran agama yg dianut di Indonesia. Itupun jika Pak Presiden berkenan. Kami dari Riau hanya menyarankan saja.
Memang, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, Ilyas Husti, menyebut, Menag Yaqut tidak bersalah. Yaqut hanya melihat dari sisi dampak ribut yang ditimbulkan azan maupun suara gonggong anjing. Jadi bukan mengumpamakan toa azan itu seperti gongongan anjing.
“Artinya, menag ingin menyampaikan dengan menganalogkan kalau dalam kondisi seperti itu, dalam keadaan ribut bisa mengganggu orang lain. Orang lain bisa terganggu,” kata Ilyas melalui media riauonline.co.id.
Menurut Ilyas, yang dimaksud menag, suara azan tidaklah mengganggu. Karena azan merupakan ajaran agama Islam yang menandakan masuknya waktu sholat. Hanya saja ditertibkan, bukan dilarang. Dalam artian pelaksanaan syariat tetap dijalankan dengan baik, tapi tidak mengganggu orang-orang di sekitar yang tidak beragama Islam.
Mana yang benar? Entahlah! Saya juga menunggu apa keputusan untuk Yaqut. Yang pasti, bisa saja anjing menggonggong, karena ada syetan yang lewat. Dan, yang pasti juga, tulisan ini saya kirimkan ke sejumlah media, semoga Pak Presiden Jokowi bisa membacanya.
(Penulis adalah Pemimpin Redaksi Harian Vokal, yang juga Ketua DKP PWI Riau dan Ketua JMSI Riau)