Oleh Gde Siriana*
PADA perang dunia kedua Jerman menguasai Eropa dengan dimulai dari Blitzkrieg (arti dari bahasa Jerman: serangan kilat), sebuah metode perang yang secara cepat menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan.
Barangkali apa yang telah dilakukan seorang Ubedilah Badrun, melaporkan anak-anak Presiden Jokowi ke KPK-RI, dapat dianggap sebagai serangan kilat ke jantung pertahanan kekuasaan di mana oligarki berada, bahkan ke jantung hati Presiden Jokowi.
Sangat bisa dipahami tindakan Ubedilah tersebut telah menggegerkan seantero negeri karena sepanjang Republik ini berdiri, inilah pertama kali anak presiden dilaporkan atas kasus korupsi di saat bapaknya masih menjabat dan berkuasa.
Sebagai akademisi, tindakan Ubedilah adalah sebagai hasil proses panjang, yang menurut Heiddeger seorang filsuf Jerman yang terkenal, bahwa manusia tidak cukup hanya berpikir seperti dikatakan Descrates, tetapi juga harus mampu memahami, baik teks maupun konteks.
Pemahaman bukan saja sebagai epistemologi, metode atau seni, tetapi merupakan ontologi, merupakan hakikat sebagai manusia. Pemahaman adalah bukan proses dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi dari pengetahuan lama terus berkembang menjadi pengetahuan baru, melalui pola faktisitas yaitu pemahaman yang lama didialogkan dengan fakta yang baru.
Dalam kehidupan bernegara, untuk memahami dapat berarti merekonstruksi makna realitas yang dikonstruksi kekuasaan. Tanpa hubungan dialektis antara pemahaman lama dan fakta yang baru, manusia akan terlempar dari fakta, dan kehidupan manusia hanya berjalan dari satu keterlemparan kepada keterlemparan yang lain. Kaum milenial menjelaskannya secara lebih singkat, yaitu gagal paham.
Gadamer yang juga murid Heiddeger, menjelaskan pra-pemahaman, atau prasangka, merupakan subyektifitas pengetahuan. Jadi tidak mungkin ada pengetahuan tanpa pra-sangka. Sejarah tidak ada yang obyektif karena disusun oleh rezim pemenang. Bahkan anti-prasangka yang dianggap merupakan nilai kehidupan manusia moderen sesungguhnya merupakan prasangka tersendiri.
Dalam kehidupan demokrasi, membasmi kelompok-kelompok yang dianggap anti-demokrasi merupakan perilaku anti-demokrasi. Kekuasaan yang menyatakan dirinya paling Pancasilais, ketika membunuhi orang-orang yang memiliki penafsiran berbeda atas pemahaman Pancasila-nya penguasa, sejatinya merupakan perilaku anti-Pancasila.
Pemahaman terhadap situasi bangsa hari ini tidak lepas dari wacana-wacana yang diproduksi kekuasan rezim Jokowi.
Menurut Michael Foucault kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Ada proses dialektis antara pengetahuan dan kekuasaan. Kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan, di mana pengetahuan dikonstruksi untuk mempertahankan kekuasaan.
Pada era Orde Baru, rezim Soeharto menggunakan wacana-wacana pembangunan sebagai legitimasi kekuasaannya. Contohnya wacana Trilogi Pembangunan, Pertumbuhan Ekonomi, Keluarga Berencana, Transmigrasi hingga Wajib Belajar.
Wacana pembangunan Orde Baru menjadi sakral hingga tidak boleh siapapun mengoreksi apalagi menghalangi. Yang melawan wacana pembangunan dianggap sebagai musuh negara. Tidak ada ruang dialoq bagi fakta-fakta baru untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan pembangunan sehingga pengetahuan lama dapat menjadi pengetahuan baru yang dapat membetulkan arah dan pelaksanaan prmbangunan.
Begitu pula yang terjadi hari ini. Wacana kereta api cepat Jakarta-Bandung, reklamasi Jakarta dan ibu kota baru, tidak boleh dikoreksi publik. Wacana pembelahan masyarakat pun dibangun untuk memisahkan mana yang pro dan pendukung kekuasaan.
Siapapun yang mengkritik dianggap sebagai kadrun, meskipun sebelumnya sebagai pendukung kekuasaan. Siapapun yang berjenggot dianggap kadrun. Yang menafsirkan identitas keagamaan tetap harus dipertahankan dalam konsep kebhinekaan dianggap kadrun. Identitas bangsa Indonesia menjadi konsep integralistik yang mutlak.
Partai-partai politik digiring seperti bebek masuk kandang, tidak boleh ada oposisi di parlemen. Lembaga-lembaga riset pun dilebur jadi satu, tanpa asal-usul pemikirannya mencontoh negara mana. Yang jelas negara-negara yang capaian risetnya sudah sangat maju tidak ada yang meleburkan semua lembaga risetnya menjadi satu lembaga, seperti AS dan China.
Indonesia menjadi negara yang sangat positivistik, kebenaran hanya satu yaitu versi penguasa. Padahal justru masalah riset di Indonesia bukan hanya soal politik anggaran, tetapi justru karena kekuasan terlalu jauh mencampuri dunia pendidikan dan pengetahuan.
Pemilihan Rektor harus ditentukan kekuasaan. Mahasiswa yang tidak menghadiri pidato presiden di kampus dikenakan sanksi.
Di era Orde Baru, narasi kurikulum pendidikan adalah meningkatkan daya saing. Hari ini narasinya kewirausahaan. Yang terjadi milenial dan Gen Y berlomba-lomba jadi youtuber. Yang anak orang kaya sibuk bikin café. Belajar serius menjadi nomor dua, yang penting bikin konten. Sebagian lain kecanduan Tik-Tok.
Fenomena ini berdampak pada hilangnya kewarasan nasional. Pemerintah mewacanakan proyek-proyek baru, meskipun tidak fisibel tetap dipaksakan berjalan dan dampaknya keuangan negara semakin bertumpu pada utang.
Developmentalisme yang sudah usang karena menyebabkan negara berkembang bergantung pada impor, seperti terjadi di negara-negara Amerika Latin yang melahirkan gagasan industrialisasi substitusi impor dengan tujuan menggantikan barang-barang impor dengan produksi domestik, di Indonesia justru didaur ulang menjadi infrastrukturisme yang mengandalkan utang dan tenaga kerja asing.
Terkait narasi-narasi kekuasaan di atas, Ben Anderson menjelaskan konsepsi Jawa tentang kekuasaan sebagai entitas riil yang meng-“ada” secara mandiri yang dikonstruksi dengan konsep wahyu alam semesta. Konsep ini memiliki peranan yang menentukan dalam relasi raja-kawula yaitu untuk memperkokoh kuasa raja, dan sekaligus menjelaskan posisi orang yang memerintah dan yang diperintah. Raja selalu benar dan yang salah pasti kawula.
Secara kultural konsepsi raja-kawula masih berlangsung meskipun Indonesia telah mencanangkan era 4.0. Adalah bencana jika ada yang mewacanakan presiden Indonesia dan keluarganya melakukan korupsi.
Padahal di negara-negara Asia seperti Malaysia, Korea Selatan, Jepang, India, seorang Presiden atau Perdana Menteri melakukan korupsi adalah pengetahuan yang dapat diterima akal sehat orang kebanyakan. Karena masyarakat modern seharusnya dapat melihat identitas atau topeng itu tidak tunggal.
Seorang tokoh atau figur dapat memiliki banyak topeng tergantung konteksnya. Secara umum masyarakat Indonesia akan heran jika anak pejabat tinggi hidup miskin, dan mengatakan pantas jika anak pejabat tinggi punya rumah mewah, meskipun tidak sesuai dengan laporan pajaknya.
Sebaliknya di negara-negara Eropa, adalah hal yang dianggap biasa jika anak pejabat tinggi sehari-hari bekerja sebagai supir taksi atau hidup sederhana.
Begitu pula yang terjadi pada sistem hukum Indonesia. Foucault menyatakan bahwa power atau kekuasaan merupakan suatu mekanisme yang menciptakan rasionalitas hukum dan pengetahuan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan yang lebih luas.
Dengan demikian kebenaran tidak berada di luar kekuasaan, melainkan selalu berada dalam kekuasaan, di mana kekuasaan akan terus memproduksi kebenaran dan berusaha menjaga kebenaran tersebut.
Inilah yang akhirnya dilakukan seorang Ubedilah Badrun, memecah kebuntuan serta kemandegan berbudaya dan berpengetahuan. Ini harus dihormati dan didukung sebagai hak-hak warga negara, setidaknya merupakan bentuk kebebasan akademik di mana Ubedilah hidup.
Apa yang dilakukan Ubedilah bukanlah untuk mewakili dirinya sendiri, tetapi mewakili kewarasan nasional, yang terganggu dengan wacana pat-pat gulipat pembelian saham anak presiden Jokowi.
Dari zaman sirup Tjampolay hingga Iphone 13 Pro Max, martabak ya tetap martabak, seperti halnya rempeyek tetap rempeyek, se-advance apapun keju atau kacang yang ditaburi di atasnya.
Semua bisa dihitung dari jumlah yang diproduksi, jumlah outlet yang aktif melayani, atau omset vendor pemasok bahan baku.
Dan dalam konteks ini anak SMA pun bisa menghitungnya dan menolak hipotesa berjualan martabak dalam beberapa tahun dapat membeli saham senilai hampir seratus miliar rupiah.
(*Penulis adalah orang yang menulis buku “Keserakahan Di Tengah Pandemi”)