Menyikapi Kebijakan Pemerintah di Sektor Batubara

Menyikapi Kebijakan Pemerintah di Sektor Batubara

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Yusri Usman*
KITA adalah negara yang berdaulat secara politik dalam menentukan kebijakan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) nasional. Amanah konstitusi jelas dan tegas bahwa SDA harus dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia.

SDA dimiliki oleh Rakyat, dan oleh Negara melalui Pemerintah sebatas mengelola, tetapi harus berpijak pada konstitusi.


Keputusan setiap langkah dalam mengelola SDA harus didasarkan pada kepentingan nasional. Sikap mengambil keputusan bukan akibat desakan dari luar negeri. Demikian hal yang sama terkait dengan krisis batubara nasional saat ini, sikap Pemerintah membuka kran ekspor atas desakan sebagain negara importir harus dilawan dan ditolak. Keputusan menutup dan membuka, harus dipertimbangkan atas kepentingan nasional, dan bukan atas tekanan internasional.

Cadangan batubara nasional sebatas 2,5 persen dari total cadangan batubara dunia, sehingga kebijakan pengelolaan harus memikirkan kebutuhan batubara di dalam negeri jangka panjang, sesuai kebijakan yang telah ditetapkan di dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang dikeluarkan Dewan Energi Nasional (DEN).

Kesalahan mendasar kelangkaan batubara bagi PLN akibat perusahan batubara melanggar DMO dan juga lemahnya Pemerintah dalam melakukan pengawasan. Ini terbukti dengan sebagian besar perusahaan dengan DMO nol persen, dan baru diketahui di saat krisis terjadi.

Masalah mendasar ketergantungan pasokan batubara ke pembangkit PLN adalah dirubahnya pasal 75 UU Minerba  4/2009 di UU Minerba 3/2020 yang menghilangkan hak prioritas BUMN untuk mengelola tambang PKP2B yang telah terminasi.

Semestinya dengan proyeksi kepentingan nasional (PLN) dalam membutuhkan batubara, Pemerintah (ESDM) harus tegas untuk mengembalikan tambang batubara PKP2B pasca terminasi kepada Pemerintah, yang dilanjutnya dapat dikelola BUMN. Ironis, di saat kebutuhan batubara oleh PLN jelas meningkat, perpanjangan PKP2B menjadi IUPK tanpa mempertimbangkan kondisi ini.

Kebijakan Menteri BUMN mencopot direktur energi primer PLN dan akan membubarkan PT PLN Batubara serta anak perusahaan angkutan laut PLN, jelas sebagai kebijakan cuci tangan pemerintah dengan mengorbankan pihak yang tak bersalah. PT. PLN Batubara, jelas hanya memasok sebagian kecil kebutuhan PLN dan bukan sebagai “biang kerok” kejadian krisisnya pasokan batubara saat ini.

Kejadian krisis bukan sepenuhnya kesalahan PLN, bahkan Independent Power Producer (IPP)/atau IPP juga menghadapi masalah yang sama. Kesalahan sangat jelas ada di dalam ruang pengawasan oleh Pemerintah sendiri.

Di dalam situasi krisis yang berskala nasional dan memberikan dampak besar terhadap kerugian nasional, Menteri ESDM tidak dengan tegas memanggil perusahaan tambang untuk diperintahkan segera mengamankan pasokan. Bahkan semua surat penugasan kepada penambang dan rapat-rapat selama krisis sebatas diserahkan kepada Dirjen Minerba.

Langkah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang mengusulkan penyelesaian masalah krisis DMO Batubara dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) adalah jelas langkah yang melanggar konstitusi. Memaksakan PLN untuk membeli batubara dengan harga pasar, dengan bantuan dana BLU, menempatkan PLN harus “mengemis” setiap bulannya kepada BLU yang notabene sumbangan pengusaha tambang batubara.

UU Minerba pasal 5, jelas dan tegas Pemerintah diberi wewenang untuk menetapkan harga dan tingkat produksi nasional (tanpa merugikan pengusaha selama ini). Dengan membentuk BLU dan memutuskan PLN harus membeli harga batubara dengan harga internasional serta memaksakan pola CIF, dicurigai sebatas menguntungkan pengusaha, sekaligus melanggar amanah konstitusi. 

*(Penulis adalah Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita