OLEH: ARIEF GUNAWAN
BUKU tipis yang disimpannya selama 44 tahun itu ternyata membekaskan banyak kenangan bagi dirinya sebagai mantan Rektor ITB (Ketua Rektorium ITB, 1978-1979).
Disebut Rektorium karena saat terjadi aksi demonstrasi besar mahasiswa ITB, 1978, yang menentang otoritarianisme dan KKN Soeharto jabatan Rektor ITB sempat dijalankan secara kolektif bersama tiga gurubesar lainnya.
Buku tipis setebal 50 halaman yang kondisinya sudah mulai lusuh itu, Jumat 28 Januari yang lalu, diperlihatkannya kepada saya sambil menceritakan kembali perannya dalam pergolakan mahasiswa ITB saat itu, dan dengan bangga pria berusia 91 tahun yang akrab disapa John Sapi’ie ini berkata:
“You harus baca buku ini. Nugroho sendiri bilang buku ini meesterlijk,” ujarnya.
Nugroho yang ia maksud adalah Nugroho Notosusanto, Mendikbud era Soeharto.
Sedangkan “meesterlijk”, bahasa Belanda. Artinya bernilai tinggi.
Ini adalah kata pujian Nugroho Notosusanto untuk buku itu. John Sapi’ie dinilai berhasil membawa ITB melewati masa-masa genting.
Apa isinya?
Buku berjudul “Pidato Ketua Rektorium ITB, Dies Natalis ke XIX Institut Teknologi Bandung, 6 Mei 1978” itu, berisi teks pidato yang ditulis dan dibacakan oleh John Sapi’ie pada acara dies natalis tersebut.
Itulah pidato pertamanya sebagai Ketua Rektorium ITB di tengah letupan pergolakan mahasiswa yang mulai mereda, saat tentara yang menduduki Kampus ITB selama lebih dari tiga bulan mulai berangsur-angsur kembali ke barak.
Ketika para mahasiswa yang menjadi tokoh penting aksi demonstrasi besar tersebut, seperti Rizal Ramli, meringkuk di tahanan Penjara Sukamiskin. Setelah John Sapi’ie ikut pula menjadi saksi yang memberikan pembelaan di persidangan.
Di dalam pidatonya itu John Sapi’ie secara puitis mengibaratkan perjuangan mahasiswa ketika itu bagaikan Hamlet, tokoh dalam karya sastra Shakespeare.
“You boleh pinjam buku ini, tetapi dengan kewajiban harus mengembalikan,” tandasnya dengan nada suara seperti pesan seorang dosen kepada mahasiswanya.
Berikut ini adalah petikan wawancara lengkap dengan Guru Besar Teknik Elektro ITB, kelahiran Pengalengan, Bandung, 4 Januari 1931 itu, di kediamannya yang sederhana, kawasan Parongpong, Bandung Barat:
Apa yang Anda ingat tentang peristiwa ITB, 1978, dan posisi Anda sebagai Ketua Rektorium?
Sebenarnya saya jadi Ketua Rektorium karena by accident.
Waktu itu saya mau berangkat ke luar negeri. Tinggal nunggu tanda tangan Syarief Thayib (Mendikbud era Soeharto).
Kalau tidak salah, saya mau ke forum Escap (Economic and Social Commision for Asia and the Pacific), atau mungkin ke acara UNDP (United Nations Development Programme), atau kemana, persisnya saya sudah lupa.
Saya tinggal di Jalan Sangkuriang, Komplek ITB. Waktu itu selain mengajar di ITB saya menjadi advisor Dirjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Profesor Makaminan Makagiansar. Meskipun membantu di lingkungan birokrasi seperti itu, tetapi hati kecil saya tetap tulen orang Teknik Elektro ITB.
Sayalah yang menulis pidato-pidato buat Max (panggilan akrab Makaminan Makagiansar), dan juga buat Mendikbud Syarief Thayib.
Kalau ada acara-acara ke luar negeri saya sering mewakili mereka. Semua tulisan saya tulisan tangan, waktu itu kan belum ada laptop, lalu disalin dengan mesin tik.
Salah satu karangan saya yang masih saya ingat dan saya bikin buat Max adalah tentang Kerangka Pengembangan Pendidikan Nasional Jangka Panjang, yang dibaca oleh Max dalam pidato-pidatonya. Tulisan-tulisan saya itu semuanya atas nama Dirjen Pendidikan Tinggi.
Saya, Max, dan Syarief Thayib waktu itu ibaratnya memang sudah seperti triangle (segitiga).
Suatu hari kalau tidak salah, saat saya belum jadi Guru Besar, Syarief Thayib dalam bahasa Belanda pernah ngomong menyuruh saya mengurus ITB. Ali Moertopo (waktu itu Menteri Penerangan) juga pernah ketemu saya. Dia bilang “Ini calon Rektor ITB”. Terus dia rangkul-rangkul saya.
Atas rekomendasi mereka Anda menjadi Ketua Rektorium ITB?
Yang terjadi tidak seperti itu. Sebelum ada pergerakan mahasiswa yang jadi membesar itu, Senat Guru Besar ITB dan wakil-wakil dosen sudah sering melakukan pertemuan atau rapat-rapat.
Waktu itu kita juga bahas situasi politik, aksi-aksi protes mahasiswa terhadap pemerintah. Kami bicara kemungkinan-kemungkinan. Ada kemungkinan ITB bisa mengalami bahaya. Saya lupa apa waktu itu rektornya masih Iskandar Alisjahbana.
Pada masa itu kebetulan terjadi juga latar belakang gerakan para intelektual dan pemogokan mahasiswa di Paris, Perancis, menjelang tahun 1970, memprotes Presiden Charles de Gaulle. Kampus-kampus di sana bergerak menduduki Paris selama tiga hari.
Kami ngomong-ngomong mengenai hal ini dan kaitannya dengan situasi politik di Indonesia saat itu. Mungkin pada masa itu situasi-situasi seperti ini mempengaruhi kami. Kemudian kami berpandangan bila terjadi sesuatu kepada ITB kami harus siapkan pemimpin.
Oleh Max kalau bercanda saya kemudian disebut Tim SS. Saya tidak tahu apa maksudnya.
Waktu akhirnya Mendikbud Syarief Thayib menyuruh saya take over ITB, karena Iskandar Alisjahbana diberhentikan, saya bilang ke Syarief Thayib “ini orang-orangnya dalam bentuk Rektorium”.
Ini merupakan hasil dari pertemuan-pertemuan Senat Guru Besar ITB dan perwakilan dosen-dosen. Mereka yang mempersiapkan kami.
Saya ditunjuk menjadi Ketua Rektorium, bersama Profesor Moedomo Soedigdomarto, Profesor Wiranto Arismunandar, dan Profesor Djuanda Suraatmadja.
Nah, yang siapkan surat-suratnya itu Moedomo. Apakah Moedomo masih ada, coba you tolong cek.
Malamnya saya ke ITB ketemu But Muchtar (Guru Besar Seni Rupa ITB yang waktu itu Sekretaris Bidang Komunikasi dan Budaya ITB). Saya bicara-bicara dengannya soal saya take over ITB. Kemudian saya langsung konsolidasi. Mendikbud Syarief Thayib sudah setuju.
Kalau tidak salah, sebelum atau sesudah saya take over ITB, saya dan Iskandar Alisjahbana diundang Mendikbud ke Hotel Indonesia, Jakarta, untuk acara pertemuan para rektor se-Indonesia. Iskandar nggak boleh masuk. Saya besok paginya ketemu sama dia. Eh, dia ngajak main tenis. “John, ayo kita main tenis saja”. Padahal rektor-rektor mau diterima sama Soeharto.
Apa langkah Anda terhadap para mahasiswa ITB yang waktu itu sudah bergolak dengan demonstrasi besar anti Soeharto?
Saya mulai bicara-bicara dengan para mahasiswa. Supaya perkuliahan dapat lancar lagi. Jangan mogok.
Pada waktu itu saya sudah melihat Rizal Ramli. Wah, keras kepala betul nih, anak. Tapi dia pintar. Itu kesan saya waktu meeting pertama dengan Dewan Mahasiswa ITB.
Yang betul-betul memberikan impresi kepada saya waktu itu adalah Rizal Ramli. Karena dia punya pendirian dan pandangan-pandangan yang cukup bagus mengenai situasi waktu itu.
Kemudian saya minta semua mahasiswa per jurusan untuk dikumpulkan. Saya sendirian. Kami ngobrol-ngobrol. Bayangin, bagaimana capeknya saya. Dicaci-maki, dan seterusnya. Tapi target saya mahasiswa harus berhenti mogok. Dalam hati kecil saya, mahasiswa pasti mau belajar. Karena itu tidak boleh mogok terlalu lama.
Akhirnya mereka ditangkapi. Penangkapan-penangkapan mahasiswa oleh tentara, bikin saya kesal. Kantor saya di Jalan Dayang Sumbi, tentara masuk bawa daftar mahasiswa. Saya melihat para mahasiswa dimasukin ke dalam truk. Saya ada di sana menyaksikan.
Lalu saya menemui Rizal Ramli dan mahasiswa lainnya di tahanan Penjara Sukamiskin, saya datang sebagai Ketua Rektorium ITB. Saya juga ketemu Himawan Sutanto (Pangdam Siliwangi) supaya dia membawa kembali mahasiswa-mahasiswa itu ke kampus, tanpa ada kekerasan, dan mahasiswa tidak boleh mogok lagi.
Saya bilang kepada Himawan, demo-demo ini akan selesai. Para mahasiswa pasti sudah bosan berdemo selama berbulan-bulan. Tapi cara menyikapi mereka harus baik. Bukan dengan marah-marah atau ngasih sanksi. Himawan pada dasarnya orang yang bisa diajak bicara.
ITB sempat diduduki oleh pasukannya, tapi tidak ada satu pun barang di ITB yang hilang.
Saya bilang kepada Himawan mahasiswa seperti Rizal Ramli dan teman-temannya itu nggak punya keinginan yang aneh-aneh, mereka hanya nggak suka sama Soeharto.
Seberapa dekat Anda dengan Rizal Ramli?
Kalau tidak salah dua tahun yang lalu kami masih ketemu di Jakarta.
Rizal Ramli itu orang yang saya kenal betul. Pintar luar biasa. Kalau soal ini, no question. Jangan dipertanyakan lagi.
Sebab dia mau baca apa saja. Punya kekuatan untuk fight. Tapi dia tidak boleh terlalu kaku. Background dia bagus untuk menjadi politisi. Percaya dirinya kuat.
Saya ngasih rekomendasi dia waktu habis dipenjara. Dia mau kuliah di Boston, Amerika, karena dia anak pintar.
Saya juga ngasih rekomendasi ke Wimar Witoelar. Jadi, ada dua anak ITB yang saya kasih rekomendasi.
Anak-anak ini bukan anak-anak bodoh. Saya sampaikan ini ke pihak Boston University. Dalam setiap korespondensi saya selalu bilang, ini orang-orang kontroversial tetapi cerdas.
Soal aksi-aksi demonstrasi yang mereka lakukan, itu soal lain. Jangan dijadikan alasan untuk tidak memberikan rekomendasi kepada mereka.
Dari mula saya percaya betul Rizal Ramli bisa menyelesaikan kuliahnya di Boston. Karena saya yakin dia bukan orang bodoh. Saya malah ikut membelanya waktu di Pengadilan Negeri Bandung sebelum dipenjarakan di Sukamiskin.
Ya, saya juga jadi ingat. Waktu mau kuliah ke Amerika (Boston University) saya kasih dia jas yang biasa saya pakai. Karena saya tahu waktu itu kan Rizal Ramli mahasiswa melarat ha...ha...ha ...
Setelah peristiwa ITB 1978 saya diberhentikan oleh Mendikbud Daoed Joesoef yang menggantikan Syarief Thayib. Saya menelepon dia, saya bicara kepadanya sebagai Mendikbud yang baru, supaya jangan terlalu keras kepada mahasiswa. Katanya “Sorry John, tidak bisa berjalan begitu saja”.
Kemudian Daoed Joesoef memberlakukan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus-Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Tujuannya adalah supaya mahasiswa fokus menjadi pemikir. Kalau tidak salah ingat, saya malah sempat menuliskan pidato-pidato buat Daoed Joesoef untuk rapat-rapat rektor se-Indonesia.
Tapi kemudian saya dianggap tidak setuju dengan NKK-BKK, karena saya dikabarkan hadir dalam pelantikan Dewan Mahasiswa ITB yang baru. Padahal acaranya tidak ada.
Tentang tahun 1998 menjelang kejatuhan Soeharto, apa yang masih Anda ingat? Kabarnya Anda bertemu Rizal Ramli bersama dua Guru Besar ITB lainnya?
Iya saya ingat, tapi tidak ingat detilnya. Pertemuannya di Jakarta, ada Iskandar Alisjahbana, dan Saswinadi Sasmojo. Betul.
Pertemuannya bertempat di Tebet, Jakarta …
Nah kalau (mendengar kata) Tebet, saya langsung klik. Kami bicara-bicara waktu itu soal keadaan negara dan Soeharto. Saya juga waktu itu menulis di suratkabar Pikiran Rakyat mengenai situasi politik ‘98.
(Ketika penulis mengkonfirmasi tentang pertemuan ini Rizal Ramli membenarkan. Tempat pertemuan berlangsung di kawasan Tebet Barat Dalam, Jakarta Selatan, yang merupakan kantor Econit (Economic, Industry, and Trade) yang dipimpin oleh Rizal Ramli. Profesor Iskandar Alisjahbana (mantan Rektor ITB) yang hadir dalam pertemuan kala itu berpendapat Soeharto masih cukup kuat dengan kekuasaannya, jadi tidak mungkin jatuh.
Ia meragukan Rizal Ramli dalam menggalang mahasiswa dan elemen rakyat lainnya untuk menjatuhkan Soeharto. Secara olok-olok ia malah mengatakan kalau kantor Econit masih menyewa, hal itu semakin mustahil terjadi. Sedangkan John Sapi’ie dalam bahasa Inggris mengatakan hal yang kurang lebih senada dengan pernyataan itu.
Hanya beberapa bulan kemudian akhirnya terbukti Soeharto yang sudah tidak disukai oleh rakyat karena menjalankan pemerintahan dengan gaya otoriter dan melakukan praktek KKN selama 32 tahun nyatanya tumbang.
Kejatuhan Soeharto ini sesuai dengan forecasting atau prediksi-prediksi yang sebelumnya banyak dilakukan oleh Rizal Ramli sebagai seorang ekonom senior yang berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dan melalui lembaga Econit yang dipimpinnya).
Sesudah pensiun seperti sekarang, apa kegiatan Anda sehari-hari?
Saya masih membaca. Termasuk baca koran Pikiran Rakyat dan satu koran lagi yang dari terbitan Jakarta. Sebelumnya saya masih suka menulis, dan aktif di Paguyuban Pasundan sebagai advisor. Menulis tema-tema Kesundaan. Saya lahir di Pengalengan. Ibu saya orang Wanayasa, Purwakarta.
Pernah ada yang tanya ke saya, “John Urang Sunda itu happy nggak hidupnya?” Wah, ini pertanyaan sulit. Bahagia itu kalau dilihat tidak sederhana, tapi sebenarnya bahagia itu sederhana.
Saya termasuk empat group kecil teknik elektrik ITB pada waktu BJ Habibie jadi presiden yang dapat Bintang Mahaputera Utama, bersama Samaun Samadikun, Imaduddin Abdurrahim, dan Iskandar Alisjahbana.
Waktu mau ngasih (Bintang Mahaputera Utama) Habibie mengatakan pakai bahasa Belanda, “John, ini adalah sesuatu yang saya berikan kepada kamu, lebih tinggi dari ini saya berikan buat menteri-menteri ... ”.
Itulah Habibie, bercanda sebelum saya dikasih (Bintang Mahaputera Utama). Waktu itu saya seserian wae (tertawa-tawa saja).
(Penulis adalah pemerhati sejarah)