OLEH: SALAMUDDIN DAENG
SOLAR adalah masalah kunci bagi pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi karbon. Tapi dikasih nama solar sudah salah. Anak kecil tau solar itu apa. Lah kok di sini jadi nama bahan bakar kotor.
Solar adalah bahan bakar kotor dalam sudut pandang rezim climate change, namun penggunaanya makin menjadi jadi. Penggunaannya harus dikurangi atau dihentikan.
Uni Europa mengatakan bahwa pencampuran solar dengan sawit bukan bagian dari program pemgurangan emisi atau climate change. Jadi boleh jadi ini cuma agenda oligarki sawit.
Sebagai pimpinan COP 26, masalah solar tidak pernah ditata dengan benar oleh Indonesia. Padahal solar berkaitan erat dengan emisi yang besar.
Banyak kasus pencurian solar dalam jumlah besar tidak pernah diselesaikan secara tuntas. Bagaimana menurunkan emisi kalau solar aja masih gelap.
Kasus pencurian solar Tuban dari pupa Pertamina tak jelas rimbanya, dinego atau dibawa ke pengadilan.
Kasus kelamgkaan solar tidak pernah diselesaikan akar masalahnya. Utang subsidi solar pemerintah sangat besar tak kunjung dibayar. Penyelewengan dalam subsidi solar sangat marak.
Digitalisasi Pertamina dalam rangka mengontrol solar subsidi tidak tuntas. Subsidi solar tidak tepat sasaran dan tidak dinikmati oleh lapisan masyarakat bawah.
Dunia international tahu bahwa solar subsidi memiliki tali-temali kuat dengan bandit sawit dan bandit batubara.
Bandit sawit dan bandit batuhara diduga ikut mengonsumsi solar subsidi. Padahal solar sudah menguntugkan para pebisnis sawit karena solar yang ada semua dicampur minyak sawit.
Jadi pebisnis sawit mendapatkan keuantungan dua kali yakni dari jual sawit ke Pertamina, dan adanya dugaan sebagai pemakan solar subsidi.
Jadi solar, sawit, dan batubara telah dicap sebagai perusak lingkungan nomor satu dan menjadi problem utama, bagi Presiden Jokowi dalam memimpin G20 dan COP 26.
Segeralah dituntaskan sinuhun...
(Penulis adalah peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)