Indonesia Diminta Waspada dengan Strategi Singapura, Kenapa?

Indonesia Diminta Waspada dengan Strategi Singapura, Kenapa?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Presiden Joko Widodo melaksanakan pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada Selasa (25/1) di Bintan, Kepulauan Riau.

Serangkaian isu dibahas, tiga perjanjian ditandatangani. Namun, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, memperingatkan agar RI waspada dengan strategi Negeri Singa. kengapa?

Seperti diketahui, tiga kesepakatan yang dicapai oleh Jokowi dan Lee hari ini meliputi perjanjian Flight Information Region (FIR); perjanjian ekstradisi; dan kesepakatan kerja sama pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA).

Dalam pernyataan pers keduanya, Jokowi dan Lee sama-sama menyampaikan kepuasan atas tercapainya penandatanganan ketiga perjanjian ini.

“Kesimpulan dari perjanjian-perjanjian ini mendemonstrasikan kekuatan dan kedewasaan dari hubungan Singapura-Indonesia,” kata Lee.

Ia menambahkan, perjanjian ini sesuai dengan kepentingan kedua negara, merepresentasikan kesetaraan manfaat, hingga membangun fondasi yang kuat untuk memajukan hubungan RI-Singapura ke depannya.

Menurut Hikmahanto, perjanjian ekstradisi dan DCA sebelumnya sudah pernah ditandatangani oleh kedua negara pada 2007 silam. Keduanya belum berlaku efektif meskipun sudah ditandatangani, sebab RI-Singapura belum melakukan pengesahan.

“Di Indonesia, dua perjanjian terakhir menjadi polemik saat ditandatangani oleh dua kepala pemerintahan, mengingat Indonesia banyak dirugikan dalam perjanjian pertahanan, sementara keberlakuan keduanya dilakukan secara berkaitan atau tandem,” jelas Hikmahanto dalam keterangan tertulis, Selasa (25/1).

Secara umum, perjanjian pertahanan atau DCA 2007 mengatur kerja sama dialog dan konsultasi antara RI-Singapura soal isu keamanan, pertukaran informasi intelijen (termasuk penanggulangan terorisme), kerja sama IPTEK bidang pertahanan, hingga pertukaran personel militer.

Hikmahanto mengatakan, kedua perjanjian menghadapi tentangan dari publik. Oleh karenanya, Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, tidak menyampaikan dua perjanjian tersebut ke DPR untuk disahkan.

Maju cepat ke masa Pemerintahan Presiden Jokowi, RI kukuh ingin mengambil kendali Flight Information Region (FIR) di wilayah udara Kepulauan Riau dari Singapura.

Pada Selasa ini, Indonesia berhasil menandatangani perjanjian FIR, sehingga ruang lingkup FIR Jakarta akan mencakup seluruh wilayah udara teritorial Indonesia—termasuk Kepulauan Riau dan Natuna.

“Tentu Singapura tidak ingin menyerahkan kendali FIR ini dengan mudah,” ucap Hikmahanto.

“Oleh karenanya ada kuat dugaan, perjanjian untuk mengembalikan FIR ini dikaitkan dengan perjanjian pertahanan,” imbuh dia.

Strategi Singapura Menurut Hikmahanto

Hikmahanto berpendapat, strategi Negeri Singa adalah jika perjanjian pertahanan bisa berlaku efektif, maka Singapura bersedia untuk menyerahkan FIR Kepri ke Indonesia.

Tetapi, Singapura sudah memperkirakan lebih awal: Perjanjian pertahanan akan ditentang oleh publik, bahkan DPR.

“Bila memang ditentang perjanjian pertahanan untuk disahkan nantinya, maka Singapura akan tetap memegang kendali atas FIR di atas Kepulauan Riau. Artinya, perjanjian pengendalian FIR ke Indonesia tidak akan pernah efektif,” papar Hikmahanto.

Ia menambahkan, perjanjian ekstradisi yang sudah ditandatangani pun tidak akan menjadi begitu penting.

Hikmahanto memperkirakan, perjanjian ekstradisi muncul karena diminta oleh Pemerintah Indonesia. Sebab, Singapura juga memunculkan perjanjian pertahanan yang dikaitkan dengan kesepakatan FIR.

“Dalam konteks demikian perjanjian ekstradisi yang ditandatangani ulang bukanlah merupakan suatu pencapaian (achievement),” tutup Hikmahanto. [kumparan]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita