GELORA.CO -Kebijakan Kementerian Energi Sumber Daya Mneral (ESDM) melarang ekspor batubara hingga akhir Januari 2022 dikritik legislator DPR Fraksi PDI Perjuangan.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Nasyirul Falah Amru meminta meminta aturan itu ditinjau ulang karena kurang tepat di tengah kondisi perekonomian yang mulai membaik.
Pria yang karib disapa Gus Falah ini menjelaskan selama pandemi Covid-19, ekspor Minerba khususnya batubara mengalami peningkatan signifikan. Jika dilarang, Gus Falah mengaku khawatir akan berdampak secara politik, dampak secara ekonomi, dan dampak secara geopolitik.
"Sehingga kalau tiba-tiba ekspor ini dilarang, saya pikir Kementerian ESDM kurang bijaksana," kata Gus Falah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu petang (02/01).
Jika ingin para pemilik tambang memenuhi kewajiban terkait kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Gus Falah berpandangan seharusnya tidak bisa disamaratakan pemberlakuan larangan ekspor.
Menurut politisi PDI Perjuangan itu, mana perusahaan yang tidak memiliki komitmen suplai batubara untuk dalam negeri akan bida dilihat dengan cara memetakan.
"Kalau semuanya digebyah uyah ini juga tidak baik, semua perusahaan tambang dianggap tidak memenuhi kewajiban mensuplai dalam negeri, itu juga tidak baik," ungkap Sekretaris Umum PP Bamusi ini.
Karena itulah, lanjut Gus Falah, sebaiknya pelarangan ini dicabut dan kemudian dirembuk kembali untuk dipilah mana perusahaan yang tidak memenuhi komitmen untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
"Itu yang harus dilarang ekspor, perusahaan yang tidak memenuhi komitmen untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi perusahaan-perusahaan yang sudah memenuhi kebutuhan dalam negeri sesuai ketentuan ya ndak ada masalah mereka melakukan ekspor," tegasnya.
"Nah, pendekatan-pendekatan rembukan yang baik saya pikir akan membuat geliat perekonomian kita semakin bagus," pungkasnya.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk melarang seluruh perusahaan batubara melakukan ekspor mulai 1 hingga 31 Januari 2022.
Hal ini dilakukan karena kekhawatiran terhadap rendahnya pasokan untuk pembangkit listrik domestik.(RMOL)