GELORA.CO - KH Ahmad Bahauddin Nursalim alias Gus Baha mengungkapkan bahwa para wali tidak pernah menganggap sesajen sebagai perbuatan kafir. Namun para wali punya cara tersendiri dalam mengganti tradisi tersebut.
Awalnya Gus Baha membahas soal agama yang masuk ke berbagai negara namun tidak terjadi konflik. Salah satunya yang spesial terjadi di Indonesia, di mana ketika agama Islam masuk tidak ada konflik.
Hal itu lantaran, kata Gus Baha, para wali dengan bijaksana bisa menyatukan setiap kultur di daerah supaya tidak terjadi konflik dengan ajaran-ajaran Islam.
Salah satu yang dilakukan para wali ialah kebiasaan masyarakat khususnya pada orang-orang jawa yang kerap membuat sesajen di sawah-sawah.
Sebagaimana anggapan yang beredar pada masyarakat jawa, mereka percaya bahwa sesajen yang ditaruh di sejumlah tempat bisa dimakan penunggunya, yakni makhluk astral.
"Jadi kalau dalam tradisi agama itu, silaturohim adalah menyambung sesuatu yang seharusnya tersambung. Agama yang masuk negara-negara enggak konflik itu diantaranya paling spesial Indonesia karena para wali ini mendampingi kultur daerahnya tetapi tidak benturan, misalnya kalau orang Jawa dulu pakai sesajen di sawah-sawah katanya dimakan penunggunya," kata Gus Baha dalam video yang diunggah saluran YouTube Sekolah Akhirat, dilihat Hops.ID pada Selasa, 11 Januari 2021.
"Ya penunggunya sawah itu kalau dulu yang pikirannya itu makhluk gaib. Di era modern penunggunya ya kambing, ayam, ya memang yang makan itu akhirnya, tapi dulu itu aneh, diistilahkan dimakan penunggunya," sambungnya.
Cara bijak para wali tak lawan kultur
Padahal Gus Baha mengatakan bahwa anggapan penunggu itu sebenarnya tidak jelas. Oleh sebabnya para wali berusaha mengubah kebiasaan menaruh sesajen tersebut.
Namun tentunya para wali memberi arahan dengan cara bijak dan tidak menyudutkan kebiasaan yang sudah ada turun temurun.
Gus Baha menegaskan, wali-wali tidak melawan kultur yang sudah ada namun memberikan arahan dan mengubahnya, dari beranggapan sesajen untuk makhluk gaib diganti jadi sedekah ke tetangga sekitar rumah.
"Kalimat penunggu itu apa ya, enggak jelas, tanda petik, atau penunggu betul enggak jelas, terus wali-wali datang tidak mengkafirkan itu, tapi terus dirubah jadi sedekah ke tetangga. Jadi kultur itu enggak dilawan, tetapi cukup diubah jadi memberi ke demit, diganti menjadi sedekah ke tetangga," imbuhnya. [hops]