Dukung Buruh atau Oligarki artinya Ikut Jalan Anies atau Jalan Setan

Dukung Buruh atau Oligarki artinya Ikut Jalan Anies atau Jalan Setan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp



Oleh: Mohammad Jumhur Hidayat

Kemnaker mungkin sebaiknya ganti nama saja menjadi Kemlaki (Kementeian Pembela Oligarki). Sejak rezim ini berkuasa, saya belum mengetahui ada kebijakan Pemerintah maupun Kemnaker yang membela Tenaga Kerja.

Malah yang dibela adalah Oligarki dan turunan-turunannya. Dari mulai tahun 2015 dengan PP 78 soal pengupahan yang menyabot fungsi tripartit daerah sehingga upah diputuskan secara sepihak dan juga Permenaker 16/2015 yang menghilangkan kewajiban TKA berbahasa Indonesia demi menservis Oligarki untuk memasukkan TKA China. Masih kurang puas membela Oligarki, maka dibuat lagi Permenaker 35/2016 yang tidak mewajibkan lagi perbandingan TKA dan Pekerja Lokal 1:10 sehingga boleh saja dalam perusahaan itu mayoritas TKA. Akibatnya, buruh-buruh kasar pun bebas didatangkan dari China untuk mengisi lapangan kerja di Indonesia.



Untuk lebih memastikan dukungannya kepada Oligarki, Kemnaker pun berjuang mati-matian menggolkan UU Omnibus Law Cipta Kerja dan mengkhianati kaum buruh dengan tidak memperjuangkan aspirasi mereka. Berbagai pasal perlindungan terhadap tenaga kerja dibonsai bahkan dihapuskan dalam UU Ciptker itu. Kemnaker, yang harusnya menjadi wakil pekerja/buruh dan membela mati-matian di forum elit pengambilan keputusan malah membebek saja kepada Oligarki dan akhirnya terbit juga UU Ciptaker yang membonsai hak-hak pekerja/buruh itu.

Entah ada kekuatan gaib apa yang melintas pada para Hakim Mahkamah Konstitusi sehingga pada 25 November 2021 UU Omnibul Law Cipta Kerja dinyatakan Inkonstitusional, walau keputusannya aneh seperti membiarkan inkonstitusionalitas berjalan dalam 2 tahun. Padahal kalau kita bermoral dalam membaca putusan MK itu artinya adalah UU Ciptaker itu Inkonstitusional sejak diputuskan MK dan bisa berlaku lagi bila diperbaiki dalam kurun sebelum 2 tahun.

Kalau lebih dari 2 tahun tidak diperbaiki menjadi inkonstitusional permanen. Bahkan untuk mengawal agar UU itu tidak dijalankan, maka MK memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dari keputusan MK itu,  sangat jelas bahwa penetapan upah buruh yang akan berdampak luas bagi 140 juta orang angkatan kerja tidak boleh dibuat  berdasar UU Ciptaker itu melalui turunannya yaitu PP 36/2021.

Harusnya Kemnaker menjadikan keputusan MK itu sebagai kayu bakar untuk  berjuang keras menjelaskan kepada elit kekuasaan dan Oligarki bahwa PP 36/2021 tidak punya legitimasi lagi untuk diterapkan dan mempersilahkan Gubernur untuk memutuskan berdasar ketentuan seperti dalam UU 13/2003 atau berdasar keyakinanya bahwa secara kemanusiaan memang upah pekerja/buruh wajib dinaikkan dengan layak. Sayangnya yang terjadi adalah sebaliknya, menyurati Gubernur agar mematuhi formula pada PP 36/2021 yang induknya yaitu UU Ciptaker telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK itu.

Dalam kaitan ini, maka keputusan Gubernur DKI Anies Baswedan menaikan upah yang tadinya hanya 0.85 persen berdasar PP 36/2021 menjadi 5,1 persen atau dari Rp 35 ribu menjadi Rp 225 ribu adalah keputusan yang konstitusional dan manusiawi.

Saya selaku Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) yang membidangi Peningkatan Kesejahteraan Pekerja, mendesak agar seluruh Gubernur mencabut kembali penetapan upah berdasar PP 36/2021 dan menetapkannya kembali berdasar aturan UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan atau setidaknya berdasar hatinurani untuk mendapat upah layak bagi kemanusiaan. Tidak perlu "gengsi untuk mengikuti Jalan Anies Baswedan" demi kesejahteraan orang-orang kecil apalagi bila jalan selain itu adalah jalan setan.

*(Penulis adalah mantan Kepala BNP2TKI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita