Dongeng Awal Tahun 2022: Harga Gas dan Kentut Rakyat

Dongeng Awal Tahun 2022: Harga Gas dan Kentut Rakyat

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Gde Siriana Yusuf*

PADUKA Prabu (PP) Dodo memasuki ruangan di mana para menteri telah menunggu. PP Dodo memanggil para pembantunya hadir dalam RATAS (Rapat Tak Tuntas) untuk membahas dampak kenaikan harga gas. Rapat segera dimulai. PP Dodo mempersilakan kepala BRAN (Badan Riset Anti Nalar) menyampaikan temuannya.


Sayangnya ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN tidak hadir. Tapi semua menteri paham jika ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN tidak hadir dalam RATAS, dan mereka pun tidak mau cari tahu. Apalagi ikut campur terlalu jauh.


Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN menolak memanggil Paduka Prabu, dan seringkali memplesetkan sebutan PP menjadi Petugas Party Dodo, yang menggambarkan posisi dan hubungan bathin keduanya. Apalagi di Dewan Pengarah BRAN, ibu Ketua punya anak buah setingkat menteri, itu sudah cukup bagi para menteri lainnya memahami posisi dan kekuatan politik Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN.


Sebenarnya sih, para menteri dan juga rakyat jelata tidak paham dengan ucapan Ibu Ketua Dewan Pengarah BRAN soal Petugas Party, apakah yang dimaksud Party itu pesta atau partai.


Meskipun arti pesta dan partai berbeda, tetapi telah disepakati oleh semua keluarga kerajaan dan kelompok Oligardan bahwa kedua kata itu bisa nyambung. Itulah kenapa kemudian Pemilihan Partai-partai yang 5 tahun sekali diadakan untuk mengisi Dewan Rakyat disebut Pesta Demokrasi, pestanya partai-partai.


Apakah rakyat tidak protes pesta demokrasi itu maksudnya pesta partai-partai? Protes sih, tapi kelompok Oligardan ini kemana-mana selalu bawa pelicin. Itulah kenapa mereka disebut Oligardan.


Dengan pelicin, semua urusan beres, sekeras apapun aturan, bakal beres dengan pelicin Oligardan.


“Paduka Prabu. Ijinkan hamba menyampaikan hasil survei hamba setelah kenaikan harga gas. Hamba melihat di mana-mana orang lapar. Di pasar-pasar orang yang berjualan belum makan, karena sepi pembeli. Hamba masuk gang-gang pemukiman, orang di depan rumah hanya duduk-duduk karena belum makan, Paduka Prabu,” kata kepala BRAN membuka laporannya.


“Kenaikan harga gas 17% telah menyebabkan kenaikan harga-harga sembako dan barang-barang. Daya beli rakyat menurun jauh akibat kenaikan harga gas. Ini berbahaya Paduka Prabu.”


PP Dodo hanya tersenyum kecil. “Begini saudara kepala BRAN. Pertama, bukan sampeyan yang menentukan situasi berbahaya atau tidak. Itu urusan saya. Paham Sampeyan? Mmmh…Kedua, itu kan persoalan biasa. Saya sudah perintahkan para pendongeng (influencer) ngomong, kalau kenaikan harga terjadi itu bukan karena harga gas naik, tetapi akibat 4 faktor lain. Pertama karena momen pergantian zaman. Kan memang biasa terjadi naik harga setiap pergantian zaman…mmhh…sekarang zaman edan, besok zaman keblinger, catat yaa. Kedua, karena sekarang musim hujan, panen jadi terganggu. Ketiga, distribusi juga terganggu akibat musim hujan. Ke-empat, ada spekulan yang mau ambil untung. Saya kira penjelasan itu cukup untuk meredam kemarahan rakyat karena harga gas naik. Apalagi kalau yang menyampaikan nanti orang-orang yang sudah saya pilih menjadi rektor hehehe…”


Para menteri lainnya ikut senyum-senyum melihat PP Dodo tertawa kecil. Setelah meneguk air putih dalam gelas di depannya, PP Dodo melanjutkan, “Menteri senior Opang akan kasih perintah kepada BUPANG (Badan Urusan Pangan) untuk menjual beras dengan harga murah, agar rakyat senang. Dalam waktu sebulan juga rakyat akan tenang kembali. Ini proses yang sudah biasa kita lakukan bertahun-tahun. Rakyat hanya marah sebentar. Mereka hanya butuh perhatian. Saya menjalankan apa yang dilakukan Kaisar Romawi Julius Caesar dulu. Kenyangkan rakyatmu dengan roti dan hibur rakyatmu dengan sirkus, maka rakyat tak perduli apa yang kau lakukan. Kenyangkan rakyat dengan beras gratis, hibur dengan tontonan para pendengung (Bazer). Itu kata Julius Caesar. Gini-gini, sebelum tidur saya masih suka dibacakan cerita-cerita jadul hahaha…” PP Dodo tertawa terpingkal-pingkal sendiri.


Memaksa para menteri lainnya untuk ikut tertawa, bahkan ada menteri yang terlihat berupaya agar tertawanya paling keras sambil memukul-mukul meja. Suasana RATAS jadi gaduh sesaat.


“Begini saudara-saudara Menteri”, PP Dodo melanjutkan.


Suasana RATAS kembali hening. “Saya lebih senang dianggap ‘ndeso, orang kampung…orang kampung yang bodoh. Jadi saya bebas mau ngapa-ngapain. Mau pake sarung kek, pakai kostum apa aja saya jadi bebas. Mau lempar-lempar sembako dari kereta kuda atau moge saya sambil nonton rakyat berlari mengejar saya, saya juga gak peduli. Kalo saya dianggap orang pinteran seperti kalian semua, maka saya akan dibatasi oleh banyak aturannya orang-orang pinter. Begini salah, begitu gak cocok. Hanya orang bodoh yang paling sedikit dibatasi aturan, dan hanya orang bodoh yang bisa mendapatkan pengertian dari orang-orang pinter. Sama seperti perilaku orang gila. Coba sampeyan pikir, siapa yang tidak mau memahami perilaku orang gila?”


Para menteri terbengong-bengong. Mereka belum juga habis mencerna, lalu PP Dodo melanjutkan, ”Jadi siapa yang lebih pinter, saya atau kalian dan para rektor? Kan sudah saya bilang, ini zaman edan, zamannya orang gila lebih pinter dari yang waras…Hahaha….” PP Dodo tertawa terpingkal-pingkal lagi.


Kali ini para Menteri planga-plongo, bingung mau ikut tertawa atau tidak. Tapi ada sebagian yang ikut tertawa meski terlambat. Ketawanya garing, kata kaum milenial. Jayus kata kaum Gen-Z.


Lalu PP Dodo melanjutkan, “Silakan saudara kepala BRAN, apa usulannya sampeyan?”


“Begini Paduka Prabu. Setelah hamba amati berhari-hari, rakyat yang belum makan akan kentut setiap satu jam sekali. Suara…”


“Beneran kentut?”, potong PP Dodo sambil memonyongkan mulutnya.


“Kentut beneran Paduka Prabu. Suara kentutnya ada yang nyaring, ada yang nge-bass, ada yang sumbang. Ada juga yang panjang kentutnya.”


“Mmmh…begitu ya. Lalu suara kentut yang seperti apa yang sampeyan suka?” tanya PP Dodo.


“Suara kentut yang mirip suara motor di jalanan nanjak pakai gigi satu Paduka Prabu. Gimana ya, ada brebet-brebetnya gitu, seperti motor yang ring-seher nya sudah kena. Keren deh pokoknya, jadi seperti orkestra klasik Ludwig Van Beethoven, Paduka Prabu. Tapi saya langsung menjauh kalau suara kentutnya seperti tidak pakai filter, serasa terbawa ampas-ampasnya gitu, Paduka Prabu,” kata Kepala BRAN mendiskripsikan penelitian kualitatifnya dengan penuh semangat.


PP Dodo spontan menutup hidungnya. Sambil mengernyitkan dahi dia bertanya lagi, “Lalu apa hubungannya kentut dengan naiknya harga gas?”


“Begini Paduka Prabu. Saya punya ide. BRAN sudah punya peneliti hebat dan juga ada teknologinya untuk mengubah kentut yang jutaan kali per jam itu menjadi gas. Gas yang dihasilkan ini dapat digunakan rakyat untuk memasak. Jadi ini energi alternatif yang ramah lingkungan. Rakyat akan mendapatkan gas dengan harga jauh lebih murah dari kentut mereka sendiri,” jelas Kepala BRAN dengan sumringah. Apalagi dilihatnya wajah PP Dodo penuh rasa ingin tahu.


Dilanjutkan Kepala BRAN, “Nanti setiap rumah akan didrop suatu alat yang akan ditempelkan ke bokong rakyat setiap mau kentut. Di dalam alat ini kentut akan dibekukan atau dipadatkan. Semacam proses sublimasi Paduka Prabu. Setiap hari akan ada petugas yang mengambil alat ini dari setiap rumah. Selanjutnya kentut beku ini akan dicairkan dan diuapkan lagi menjadi energi gas. Proses terakhir hasil gas ini akan dimasukkan ke tabung lalu dijual ke rakyat. Intinya ini penemuan baru. Bukan gas alam, tapi gas manusia. Filosofinya dari manusia untuk manusia, dari gas manusia menjadi energi gas. Penemuan ini nanti hamba patenkan atas nama Paduka Prabu. Gas Van Kentut (GVK). Eureka!”


Kepala BRAN menutup laporannya dengan meneriakkan Eureka sambil mengepalkan tangan kiri seperti halnya kepalan tangan para aktivis mahasiswa saat berunjuk rasa di depan istana kerajaan. PP Dodo dan para menteri tidak paham apa yang dimaksud Eureka.


Tetapi Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto membisiki PP Dodo, “Gampang Paduka Prabu, ini urusan kecil. Nanti produksi Urea-nya saya yang atur, perusahaan pupuk kan ada di bawah saya.” PP Dodo hanya manggut-manggut.


Kepala BRAN melanjutkan,”Ingat Paduka, masa depan dunia akan memperebutkan pangan, air dan energi. Kerajaan kita akan menguasai dunia dengan GVK. Mereka boleh mengirim pesawat ulang-alik antariksa, tapi untuk tenaga pendorongnya mereka akan beli GVK karena lebih murah. Bahkan GVK ini dapat dikembangkan untuk menggerakkan mesin mobil kerajaan, yang dulu sempat Paduka Prabu promosikan tapi sekarang lenyap…entah ke…”


PP Dodo tiba-tiba memotong omongan Kepala BRAN dengan nada marah. “Semprul. Sampeyan nyindir saya?”.


Kepala BRAN kaget, lalu coba menetralisir suasana. “Tidak Paduka Prabu. Mohon ampun, hamba tidak bermaksud menyindir Paduka Prabu. Justru hamba ingin membantu Paduka Prabu".


PP Dodo mengamati para menteri di sekitarnya yang kini semuanya menundukkan kepala. Tapi dia melihat ada tiga menteri yang sedang berbisik-bisik, yaitu Menteri Senior Opang, Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto dan Menteri Pemandangan Alam Dino.


Dia tahu ketiganya punya usaha tambang kayu bara. Mereka bertiga menguasai 90% kayu bara yang digunakan para penjual sate dan  jagung bakar di seluruh kerajaan. PP Dodo pernah bertanya kepada Menteri Pemandangan Alam Dino mengapa ikut-ikutan bisnis kayu bara.


Menteri Dino menjelaskan bahwa kayu bara masih berhubungan dengan kementeriannya, sama-sama alam, bisa dipandangi, apalagi dinikmati.


“Adakah yang ingin disampaikan Menteri Senior Opang?” tanya PP Dodo dengan wajah mengarah kepada mereka bertiga.


Menteri Senior Opang menoleh lalu membetulkan duduknya menghadap PP Dodo. Lalu dia menyampaikan usulannya. “Begini Paduka Prabu. Usulan Kepala BRAN ini amazing. Ini harus segera direalisasikan.” Kepala BRAN sumringah wajahnya.


Senang betul rasanya didukung Menteri Senior Opang. Tiba-tiba terbayang jabatannya akan naik lagi. Ah, setidaknya bakal lama aku ini jadi Kepala BRAN, gumamnya dalam hati.


“Tapi nanti Gas Van Kentut ini jangan dijual lokal Paduka Prabu,” kata Menteri Senior Opang melanjutkan.


“Kita ekspor saja, harganya kan tinggi. Apalagi kerajaan kan perlu devisa untuk bayar utang. Dengan demikian kita untung dobel (kata e diucapkan seperti pada kata becek). Dalam negeri dapat sumber daya kentut gratis, lalu perusahaan kami bertiga bisa jual ekspor, devisanya bisa untuk bayar utang kerajaan. Mekanismenya nanti rakyat dapat sembako murah dari BUPANG, anak Paduka Prabu ikut untung dari saham perusahaan kami yang dia pegang, kerajaan bisa bayar utang luar negeri. Semua senang Paduka Prabu,” jelas Menteri Senior Opang dengan optimis sambil memelintir ujung kumis kecilnya.


Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto ikut menimpali, ”Ya ini nanti seperti yang kemarin-kemarin Paduka Prabu. Seperti kita jual masker ke luar negeri karena harganya lebih tinggi dari harga lokal. Nanti perusahaan-perusahaan milik kerajaan akan jual GVK kepada perusahaan kawan-kawan saya, mereka yang akan ekspor.”


Tiba-tiba Ibu Menteri Solidaritas menyela dengan nada tinggi dan cempreng, berdiri sambil berkacak pinggang mengacungkan jari telunjuknya, “Lalu siapa yang subsidi sembako untuk rakyat? Anggaran kementerian saya tidak cukup lho bayarin sembako murah ke seluruh rakyat. Paling-paling hanya untuk dua….”


Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto memotong, “Tenang-tenang semua. Jangan panas dulu. Ini kan ada devisa dari ekspor GVK. Utang dibayar kan turun tuh utang. Jadi kita bisa tambah utang lagi untuk subsidi sembako rakyat. Semua bisa diatur. Yang penting semua senang. Bukan begitu Menteri Harta Kerajaan?”


Ibu Menteri Harta Kerajaan membetulkan kacamatanya, memperhatikan laporan anak buahnya yang akan disampaikan kepada PP Dodo. “Kalau ngutang nambah terus kapan berkurangnya riba utang ini Paduka Prabu? Ini saja utang baru kita sudah habis buat bayar pokok utang dan ribanya. Daya tahan rakyat sudah lemah untuk dipalaki terus. Rakyat susah usaha karena tukang kredit yang biasa keliling kampung lebih suka beli SUK (Surat Utang Kerajaan) yang ribanya lebih tinggi dari riba Dosasitu. Semua berlomba beli SUK, Paduka Prabu."


“Lho, bagus toh, kalu SUK dibeli banyak orang. Apa ibu Menteri Harta tidak suka?”, kata PP Dodo dengan mata agak melotot.


“Bukan begitu Paduka Prabu. Ini SUK laku karena ribanya tinggi. Juga karena SUK dijamin oleh kerajaan. Tapi ribanya ini jadi beban berat kerajaan dalam waktu lama. Selain itu, uang yang seharusnya beredar di kalangan jelata untuk perputaran usaha, justru disedot oleh SUK. Akibatnya rakyat meminjam uang di Pinjol. Hamba gak tega lihatnya, Paduka Prabu. Sakitnya tuh di sini, hik..hik..” lirih suara ibu Menteri harta, sambil tangan kirinya menyentuh jantungnya sendiri, dan tangan kanannya mengusap air mata yang mulai menetes dengan sehelai tisu putih bersih.


Suasana RATAS mendadak sunyi. Hening bikin pening. PP Dodo meneguk lagi air putih dalam gelas di hadapannya. Glek..glek..glek. Tandas. Lalu ia mulai lagi bicara pelan,”Pinjol itu apa ya?”


Ibu Menteri Harta Kerajaan masih terisak-isak, diam tak menjawab pertanyaan PP Dodo.


Lalu Menteri Perusahaan Milik Kerajaan Eto berinisiatif menjawab, “Pinjol itu Pinjaman Benjol, Paduka Prabu. Jadi kalau rakyat jelata yang utang gak bisa bayar utangnya, maka dia akan benjol-benjol. Tapi mereka lebih suka bunuh diri daripada benjol-benjol.”


PP Dodo terkejut hingga kursinya agak mundur. “Lho, koq bisa begitu. Nanti kalo kita gak bisa bayar riba SUK, bisa benjol-benjol kita, berabe ini namanya.”


“Gak begitu juga Paduka Prabu. Ini kan sesuai titah Paduka Prabu untuk memajukan start-up. Salah satunya ya.. dengan Pinjol ini. Bahkan setelah harga gas naik, akan banyak Pinjol-Pinjol baru. Pemiliknya juga sudah bersedia kasih saham untuk anak Paduka Prabu,” kata Menteri Eto berupaya menenangkan PP Dodo.


Di ujung RATAS, PP Dodo bertanya lagi kepada Kepala BRAN. “Berapa anggaran yang sampeyan perlukan untuk realisasi proyek GVK?”


“Awalnya BRAN dikasih anggaran 6 triliun. Tapi itu masih kurang banyak. Maka sesuai arahan ibu Ketua Dewan Pengarah, lembaga riset di kementerian ditarik semua ke BRAN, jadi anggarannya bisa nambah, jadi sekitar 10 triliun. Belum termasuk tahap berikutnya ambil alih lembaga riset di perguruan tinggi,” jelas Kepala BRAN dengan perlahan tapi penuh penekanan pada angka-angka anggaran.


Baginya ini tahap yang ditunggu-tunggu. Masuk itu barang, gumamnya dalam hati penuh keceriaan.


“Mmmh... Jadi serius ini semua lembaga riset dilebur dalam BRAN?” tanya PP Dodo.


“Serius Paduka Prabu, begitu titah Ibu Ketua Dewan Pengarah,” jawan Kepala BRAN.


“Apa sudah dicek, di Amerika yang demokratis atau China yang otoriter misalnya, apakah lembaga riset mereka juga dilebur jadi satu? tanya PP Dodo lagi.


“Sudah. Mereka tidak dilebur Paduka Prabu. Di AS ada lebih dari 60 research agency milik pemerintah. Di China lebih banyak lagi, ada 150 lembaga riset milik pemerintah. Sampai hari ini tidak dilebur jadi satu lembaga riset.”


“Lho, lalu BRAN ini nyontoh siapa?” tanya PP Dodo heran.


“Menurut ibu Ketua Dewan Pengarah, ini cara kerajaan kita sendiri, tidak nyontoh siapa-siapa. Pembentukan BRAN sendiri sudah menjadi penemuan baru, new invention namanya, dilebur jadi satu. Begitu kata Ibu Ketua Dewan Pengarah,” jelas Kepala BRAN lagi.


“Okeh, para menteri, kita sudahi dulu RATAS ini. Namanya juga Rapat Tak Tuntas. Saya mau lihat kembang api pergantian zaman sama cucu-cucu saya. Sebagai penutup saya berterima kasih kepada para menteri yang sudah mau bersama-sama saya, terpaksa atau tidak, sepanjang zaman edan yang mau kita lewati ini. Ingat ya besok ganti zaman, zamannya wong keblinger.”


Setelah itu PP Dodo bersama para pengawal kerajaan meninggalkan ruangan, meninggalkan para menteri dengan banyak pertanyaan di kepala masing-masing.


Mereka tidak juga beranjak dari kursi masing-masing. Bayangan esok hari zaman keblinger membuat mereka asyik dengan fantasi masing-masing, uang dan kekuasaan.


(*Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS); Penulis Buku Keserakahan di Tengah Pandemi)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita