Oleh: Adian Radiatus
PRESIDEN Jokowi dan partai politik minus PKS serta DPR patut diberi apresiasi setinggi-tingginya atas kerja keras membereskan perangkat UU Ibukota Negara alias IKN yang begitu mulus dan penuh ketulusan merancangnya sehingga jauh dari kesan adanya jejaring kepentingan fulus atas proyek itu.
Rumor adanya kertas berharga berkoper-koper atas lancarnya suatu undang-undang disahkan juga sepi dari ruang publik.
Saking mulus dan tulusnya, bahkan nama kota itu diserahkan sepenuhnya kepada Presiden Jokowi dan munculah nama Nusantara.
Meskipun terkesan tak selaras dengan maksud dan tujuan keberadaan Ibu Kota Negara itu, tetapi tentu patut dipahami bahwa lemah dan sedikitnya pemahaman penggemar bacaan Sincan itu atas makna nama Nusantara bagi negeri ini. Mungkin perlu mendengar lagu Koes Plus yang berjudul "Nusantara" itu.
Namun ketika urusan memilih Kepala Otorita IKN itu pihak Istana meminta partisipasi publik untuk turut mengusulkan kandidat yang dirasa cocok di sana. Sungguh teramat janggal ketika IKN hendak didirikan segala suara rakyat tidak digubris juga ketika DPR hendak membuat UU-nya sah.
Mungkin ini cara politik 'jebakan Batman', ketika publik usulkan nama maka akan menjadi alasan seakan rakyat setuju atas kehadiran IKN itu. Cerdik, tapi rakyat cerdas melihatnya menjurus licik bahkan rada pengecut.
Pembangunan IKN itu terlalu banyak pola Developer Property yang dipakai ketika membuka lahan semacam BSD City, Sentul City, dan kawasan lainnya semacam PIK itu.
Sehingga jelas unsur kehormatan dan martabat bangsa dan negara tidak tampak hadir dalam 'Blue Print'-nya, tidak ada marwah layaknya sebuah ibukota yang mempunyai alur historikal yang memadai dan jejak kebutuhan absolut bagi bangsa dan negara ini.
Maka ketika rasa gundah gulana kehendak pindah dari ibukota ini seakan mendapatkan 'gayung bersambut' dari orang-orang sekitarnya dan khususnya para 'big bos' pemain properti beserta asesorisnya bersedia mendukungnya secara besar-besaran.
Tentu saja bagi mereka 'business as usual' dan selalu diikuti berapa profit margin bersih yang dapat digondolnya. Hal mana semestinya tidak pernah boleh terjadi pada pembangunan sebuah ikon yang langsung membawa nama Ibukota Negara.
Semestinya seluruh perangkat bangunan beserta seluruh perlengkapan dan fasiltas pemukimannya harus dibiayai oleh APBN tanpa kecuali. Pihak swasta hanya boleh sebagai mitra pembangun dan bila ingin membangun perkantoran ataupun sarana komersil lainnya harus menunggu kajian Bappenas.
Itulah gunanya palu DPR sebagai wakil rakyat untuk mencegah dalam membangun sebuah asset besar milik negara seharusnya dengan uang negara dan bukan berkolaborasi dengan investor swasta yang saat ini tampak 'taring'nya lebih menggigit ketimbang penguasa pemerintahan apalagi bila sang swasta ada didalam kekuasaan itu sendiri.
Tentu itu sebuah 'kecelakaan' besar bagi batin rakyat.
Maka sebelum segala sesuatunya menjadi terlambat adalah baik untuk meninjau kembali keputusan UU itu dan para ahli tatanegara serta kaum nasionalis Pancasilais dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena urgensinya untuk mencegah malapetaka biaya Kereta Api Cepat Bandung-Jakarta (KACBJ) terulang kembali dan menodai pembangunan IKN baru ini bila dibangun ala model calo properti.
(Penulis adalah pemerhati sosial dan politik)