GELORA.CO - Fenomena alam seperti gempa, tsunami, dan erupsi di Selat Sunda, Banten akan menjadi bencana andaikan masyarakat tidak beradaptasi.
Peneliti ahli madya Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Mohamad Ramdhan mengatakan, adaptasi menjadi penting lantaran kawasan tersebut memiliki potensi gempa maksimal magnitudo (M) 8,7 dengan potensi tsunami hingga 20 meter.
"Seandainya terjadi, kita harus siap, gempa bumi, tsunami dan erupsi untuk memikirkan bagaimana beradaptasi," ujar Ramdhan dalam webinar Gempa Bumi Banten M6,6 yang diikuti secara daring di Jakarta, Jumat (21/1/2022).
Menurut Ramdhan, gempa yang terjadi di Kabupaten Pandeglang M 6,6 pada Jumat (14/1/2022) merupakan foreschock atau energi yang dirilis sedikit-sedikit sebelum main schok atau energi maksimal gempa. Menurut kajian BMKG, Pulau Sumatra hingga Jawa bagian barat pergeseran lempeng membuat banyak sumber gempa yang dapat menjadi ancaman.
Sebab, sumber gempanya tidak hanya dari zona subduksi, tetapi juga dari sesar Sumatra dan sesar yang ada di Jawa. Selain itu, longsoran Gunung Krakatau telah mengakibatkan tsunami pada 2018 dan paling fenomenal dengan ketinggian lebih dari 30 meter akibat erupsi 1883.
"Jawa bagian barat ada Ibu Kota, penduduk tinggi, daerah wisata. Tugas kita semua meningkatkan kesiapsiagaan, meningkatkan adaptasi dengan fenomena alam," ujar dia.
Dibandingkan dengan gempa di Malang M6,0, karakter gempa Banten terbilang merusak. Sebab, gempa terjadi selama lebih dari 12 detik dan menurut pengalaman di lapangan, itu menyebabkan 3.000 lebih rumah rusak.
Gempa Banten tidak menghasilkan tsunami. Itu karena energinya tidak cukup kuat untuk menghasilkan deformasi signifikan di permukaan bawah laut.
"Gempa selatan Banten, menurut BMKG, terjadi di zona subduksi, masih kita diskusikan lagi di zona interplate atau transisi, karena selain kedalamannya menengah, karakternya antara keduanya," jelas Ramdhan.(Republika)