Oleh: Dr. Emrus Sihombing*
PEMDA DKI Jakarta melalui Wakil Gubernur, Ahmad Riza Patria (ARP) mengatakan, prinsip penentuan upah minimun propinsi (UMP) Jakarta, yaitu terbaik bagi buruh, pengusaha dan masyarakat.
Dari tiga subyek (buruh, pengusaha dan masyarakat), yang dapat terukur rasional yaitu terbaik bagi buruh dan pengusaha. Sementara terbaik untuk masyarakat sangat sulit menentukannya karena subyektif dan relatif.
Variabel terbaik bagi masyarakat sebaiknya bukan pertimbangan utama, atau dikeluarkan saja dari penentuan UMP Jakarta. Sebab, terbaik bagi buruh dan pengusaha, menurut hemat saya, sudah termasuk terbaik bagi masyarakat. Karena itu, tulisan ini melihat dari perspektif terbaik bagi buruh dan pengusaha.
Sangat ideal pendapat ARP di atas. Itulah tujuan pemimpin mensejahterakan warganya. Pemda DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Anies Baswedan (AB) mutlak mewujudkan kotanya (Jakarta) maju dan bahagia warganya. Itulah salah satu janji politiknya ketika kampanye Pilkada-2017 dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat (termasuk buruh dan pengusaha), utamanya bidang ekonomi.
Oleh karena itu, dalam penentuan UMP Jakarta, AB tidak boleh hanya mempertemukan, memediasi, mendengar dan kemudian memutuskan UMP Jakarta atas dasar kemampuan perusahaan dan usulan dari buruh.
Selama ini, menurut hemat saya, penentuan UMP Jakarta acapkali dasar utama yang digunakan dari aspek cash flow atau kemampuan finansial perusahan, biaya hidup dan sedikit peningkatan kesejahteraan buruh.
AB sebagai gubernur dan pempimpin yang membahagiakan masyarakat Jakarta, ia harus melihat dan mem-validasi kemampuan perusahaan serta menyimak sungguh-sungguh keinginan buruh untuk berbahagia dalam bidang pendapatan.
Sementara kemampuan perusahaan sangat varian sehingga tidak boleh dilakukan generalisasi penentuan UMP. Ada perusahaan yang mampu membayar UMP, bahkan di atas itu. Sebaliknya, ada yang belum kuat membayar batas UMP karena kelesuan ekonomi sebagai dampak Covid-19.
Sebagai pempimpin yang membahagiakan warganya di sektor buruh dan pengusaha, AB harus membuat terobosan baru dengan mengalokasikan sebagian APBD DKI Jakarta kepada buruh.
Sebagai contoh memudahkan perhitungan, kemampuan suatu perusahaan membayar upah hanya 3 juta rupiah perbulan, sementara UMP mencapai 5 juta rupiah, tidak ada salahnya APBD DKI Jakarta dialokasikan sebanyak 2 juta rupiah atau lebih agar semua buruh di Jakarta bahagia.
Lebih radikal positif, jika Pemda DKI Jakarta memberikan insentif parmanen bagi semua buruh di DKI Jakarta minimal 2,5 juta rupiah atau lebih perbulan.
Pertanyaan apakah itu bisa diwujudkan dari APBD DKI? Menurut hemat saya, sangat bisa. Ini persoalan kemauan, komitmen atas janji politik ketika kampanye dan keberpihakan kepada buruh dan pengusaha yang sedang menghadapi kelesuan ekonomi akibat Covid-19.
Lakukan saja secara tegas dan kongkrit pemotongan fasilitas dan pendapatan Gubernur, Wagub, Sekretaris Wilayah Daerah, semua Kepala Dinas serta TKD (tunjangan kinerja daerah) para ASN di Jakarta, yang sangat luar biasa dibanding dengan kepala daerah dan ASN di propinsi lain.
Bahkan saya berpendapat, buruh harus lebih sejahtera dari aspek ekonomi daripada para pejabat dan ASN DKI Jakarta. Mengapa? Melalui keringat para buruh, bukankah perusahaan membayar berbagai pajak dan perijinan sesuai UU kepada Pemda DKI Jakarta sebagai sumber pendapatan daerah. Sementara pejabat dan ASN hanya berfungsi dan bertugas memberi layanan publik kepada masyarakat, termasuk kepada buruh.
Buruh menghasilkan uang untuk APBD DKI Jakarta, pejabat dan ASN menggunakan dana yang sebagaian dihasilkan dari keringat buruh. Buruh bekerja dengan keringat sungguhan, sementara ASN bekerja tanpa keringat karena di ruang ber-AC.
Untuk itu, dalam rangka mewujudkan rasa keadilan dan kesejahteran ekonomi bagi buruh dan pengusaha, jika Pemda DKI Jakarta masih sulit berpihak kepada buruh dan pengusaha daripada kepada pejabat dan ASN Pemda DKI Jakarta, setidaknya Gubernur AB memberi perlakukan yang sama dari segi gaji/upah antara ASN dan buruh sesuai golongan dan masa kerja di Jakarta. ASN dan buruh sama-sama berkarya untuk tujuan yang sama yaitu maju kotanya (Jakarta) dan sejahtera warganya (buruh dan ASN diperlakukan sebanding dari segi penghasilan).
*(Penulis adalah komunikolog Indonesia)