Oleh: Jon Masli*
SEBAGAI WNI saya bangga menjadi warga dari sebuah negara yang berpenduduk 270 juta, dengan jumlah warga Muslim terbesar di dunia, hidup rukun bersama puluhan juta saudara/i nya yang beragama Kristen, Katholik, Buddha, dan Hindu.
Dengan ekonomi nomor empat terbesar di dunia, dengan kekayaan alam terbesar di dunia, dengan keindahan alam tercantik di dunia, dengan kekayaan budaya yang beratus ragam, dan dengan sumber daya mineral terbesar di dunia. Makanya paspor hijau berlambang Garuda kupegang erat-erat.
Sekarang badut-badut politik lagi bercitra ria dari seratusan video youtube kita dapat saksikan, dari capres yang ngasih tukang becak dengan cak lui duit, bongkarin kasus-kasus korupsi, sampai negur tukang jaga/ pembersih WC dan sebagainya.
Kami di Amerika senang juga disuguhkan tontonan-tontonan begini. Tapi jujur lama-lama bosan dan muak karena sudah tahu tidak ada juntrungan kelanjutan yang berarti.
Masak sih yang menjadi para calon pemimpin 2024 itu orang-orangnya itu-itu saja seperti yang ditonjolkan oleh polster-polster?
Masak tidak ada putra atau putri Indonesia yang lebih baik dari mereka yang mencalonkan diri ini yang notabene selama ini adalah bagian dari penguasa sekarang dan selalu tampil dengan berbagai pencitraan.
Bukankah Indonesia is the new land of opprtunity? Wong yang berwajah ndeso sahaja dengan pendidikan dari universitas lokal, mantan pengusaha mebel, pegawai partai PDIP, bisa Bahasa Inggris ala kadarnya seperti Pak Joko Widodo bisa menjadi Presiden Republik Indonesia; dua periode lagi.
Bahkan mau diusung kalau bisa tiga periode, supaya tercapai cita-cita Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera.
Jadi seharusnya tidak masuk akal kalau kita tidak punya pemimpin yang lebih baik daripada calon-calin yang dipolsterkan selama ini oleh polster-polster tersebut. Sangat ironis dan memalukan bila kita dengan 270 juta penduduk tidak bisa menampilkan pemimpin yang lebih baik dari yang sudah-sudah.
Jangan kita terkecoh dengan polsterRp yang ramai mengunggulkan para calon-calin tersebut yang integritasnya masih kita ragukan dan menjadi pertanyaan besar masyarakat karena mereka sudah pernah menjabat selama ini, tetapi dengan rekam jejak yang tidak menonjol ikut-ikutan menjadi kegagalan kelola pemerintahan yang selama ini belum berhasil memperbaiki keadilan, ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Mengapa kita tidak mencari “new blood”, calon-calon pemimpin yang belum pernah menonjol selama ini. Masih banyak kok calon-calon yang berkualitas, masak tidak ada dari 270 juta rakyat Indonesia.
Seharusnya media-media kita memberikan kesempatan panggung kepada mereka juga yang belum dikenal ataupun yang sudah dikenal tapi mumpuni dan berakhlak. Tidak perlu disebut satu persatu siapa-siapa mereka itu, tapi yang jelas mereka tidak mendapat panggung atau dukungan kekuatan kunci.
Media masa jangan hanya memberikan panggung kepada mereka yang diusung polsterRp saja, yang mengunggulkan mereka dengan berbagai pencitraan. Partisipasi media itu penting menggali calon2 pemimpin yang berintegritas, jangan seperti mediaRp.
Kekuatan media katakanlah media-media seperti Tempo, Kompas yang selama ini berani independent itupun tidak cukup. Sayang memang media-media belum berperan aktif menggali para calon-calon pemimpin yang dapat ditonjolkan.
Tetapi untunglah masih ada banyak netizen-netizen di medsos sudah mengumandangkan tokoh-tokoh yang sekarang lantang mengkritik membangun kebijakan-kebijakan pemerintah dan mempunyai keikhlasan untuk memperbaiki negara ini. Tetapi mereka ini tidak berkesempatan diberi panggung oleh berbagai kondisi.
Mereka bisa dihitung dengan jari. Apalagi kalau sudah menyangkut dana komersial yang mereka tidak akan pernah dapat dukungan dari kekuatan Oligarki karena akhlak dan iman mereka yang kokoh. Lalu diadang pula oleh regulasi pemilihan umum threshhold 20 persen.
Inilah yang menjadi kendala terbesar stumbling block demokrasi kita oleh threshhold 20 persen ini sebagai akal-akalan kekuatan oligaki yang selalu ingin menguasai rezim penguasa tercinta ini.
Tanpa menghapus kendala threshhold 20 persen ini, Indonesia tidak akan mempunyai pemimpin yang menjadi idaman rakyat di 2024. Percayalah, tanpa menghilangkan regulasi jebakan batman oligarki siluman threshold 20 peresen kita hanya akan mendapatkan cawapres dan capres badut-badut politikus yang tidak berkualitas, yang selama ini petenteng-petenteng di layar-layar kaca dan media-media masa mengumbar janji-janji.
Sedangkan calon-calon pemimpin berkualitas ikhlas berakhlak dan berintegritas memperbaiki negeri ini, tidak akan pernah berkesempatan ikut pemilu menjadi Wapres dan Capres walau mereka berteriak teriak menyuarakan jeritan hati nurani rakyat yang sudah merdeka 76 tahun dan
masih hidup menderita menjadi kacung/ budak dirumahnya sendiri digaji UMP rata-rata Rp 80.000 atau 6 dolar AS sehari.
Lebih ironis lagi mereka juga harus ikutan memikul utang Rp 6.000 hingga 7.000 triliun sampai beberapa generasi ke depan.
(*Penulis adalah WNI yang sedang diaspora di Amerika Serikat)