GELORA.CO - Reuni 212 yang digelar Kamis (2/12) tidak berjalan mulus dan besar seperti sebelumnya lantaran tidak mengantongi izin dari aparat kepolisian. Berbagai penyekatan jalan turut berkontribusi menghambat pergerakan massa ke Jakarta Pusat.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, kondisi tersebut sudah bisa dibaca karena aksi 212 bukanlah gerakan biasa.
Baginya, gerakan 212 memiliki histori yang panjang di perpolitikan Tanah Air. Mereka merupakan gerakan besar dengan jumlah pengikut jutaan orang.
"Gerakan 212 pernah menghadirkan jutaan orang di Monas, itu menjadi sebuah kekuatan," kata Ujang dalam Tanya Jawab Cak Ulung bertema "Politik Reuni 212", Kamis (2/12).
Namun besarnya kekuatan aksi 212 memunculkan kekhawatiran baru bagi penguasa. Bahkan Ujang sudah meramal sejak gelaran aksi 212 yang menghadirkan jutaan orang di tahun 2016 akan dipereteli penguasa.
"Saya sudah mengamati sejak lama, gerakan ini akan besar, tapi akan dipereteli, dipotong di tengah jalan. Tokohnya mohon maaf, akan disikat satu-satu. Salah satunya Habib Rizieq," jelasnya.
Dan benar saja, pasca kepulangan Habib Rizieq dari Arab Saudi tahun 2020 lalu, tokoh sentral gerakan 212 itu langsung diproses hukum, bahkan sampai diseret ke meja hijau.
"Oleh karenanya, ini bukan gerakan biasa, secara historis gerakan ini dalam tanda kutip sebagai oposisi bagi pemerintah," tandasnya. [rmol]