GELORA.CO - Menteri Keuangan Sri Mulyani terus melakukan sosialisasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) ke berbagai wilayah. Hari ini, Jumat (17/12) sosialisasi dilakukan di Bandung, Jawa Barat.
Dia menjelaskan, UU HPP dibentuk bersama antara pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, juga dengan Komisi XI DPR. UU HPP dibuat untuk mereformasi perpajakan.
Dia menyebut, sejak pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia di awal 2020 hingga saat ini, APBN bekerja keras dan mengalami defisit. Kondisi ini memang diizinkan selama masa kedaruratan, tapi tak bisa selamanya dilakukan. Sebab, jika tidak, maka APBN malah akan menjadi masalah di depan.
"Karena kita dalam situasi tertekan kita bisa defisitnya ditingkatkan, namun tidak boleh terus-menerus dalam kemudian bisa menimbulkan krisis ekonomi. Kita sudah lihat banyak negara yang mengalami hal tersebut. Kita tidak ingin Indonesia dalam posisi sesudah menangani COVID, menstabilkan sosial dan ekonomi kemudian APBN menjadi sumber masalah," ujar Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP di Bandung, Jumat (16/12).
Dia memastikan, pemerintah akan mendahulukan pemulihan masyarakat. Baik dari sisi kesehatan, sosial dan ekonomi. Namun perlu ada penyelamatan pada kinerja APBN.
"Penyehatan APBN dilakukan secara terukur dan bertahap. Tentu tujuannya masyarakat pulih dulu, ekonomi kuat lagi dan kemudian APBN menjadi sehat kembali. Untuk itu, DPR dengan pemerintah mendesain sebuah reformasi perpajakan yang tertuang dalam UU HPP," lanjutnya.
UU HPP dan aturan mengenai pajak di dalamnya, kata dia, banyak dinilai membebani masyarakat. Padahal menurut Sri Mulyani, UU HPP justru berpihak pada masyarakat, utamanya mereka dengan ekonomi rendah.
"Kalau kita bicara pajak, masyarakat langsung merasa ini beban ini, padahal di dalam harmonisasi ini banyak sekali pemihakan kepada rakyat terutama kelompok tidak mampu, UMKM. Enggak mungkin DPR Komisi XI membiarkan pemerintah policy yang membebani masyarakat," tuturnya.
Dalam postur APBN 2022, pemerintah menganggarkan belanja negara sebesar Rp 2.714 ,2 triliun, dengan pendapatan negara Rp 1.846,1 triliun. Defisit dan pembiayaan anggaran sebesar Rp 868,o triliun atau 4,85 persen dari PDB.
"APBN yang bekerja luar biasa keras selama 2020 2021 dan tahun depan perlu untuk dijaga kesehatannya. Belanja yang mencapai Rp 2.750 (triliun) sekitar itu akan terus dijaga untuk bisa membiayai program penting bagi rakyat, kesehatan, bansos, bantuan UMKM dan belanja lain," jelasnya.
"Yang bertujuan untuk memperkuat pondasi ekonomi Indonesia, namun seluruhnya harus didanai dan dana itu berasal dari penerimaan perpajakan dan bukan pajak," lanjutnya. [kumparan]