GELORA.CO - Polresta Surakarta secara resmi memberikan izin terkait rencana gelaran konser musik pre-event Rock In Solo 2021 di Convention Hall Terminal Tirtonadi, Sabtu (18/12/2021) mendatang.
Dilansir Solopos.com, pemberian izin oleh kepolisian setelah adanya rekomendasi dari Satgas Penanganan Covid-19 Kota Solo. Penjelasan itu disampaikan Kapolresta Solo, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, saat diwawancarai wartawan di kantornya, Kamis (2/12/2021).
“Sudah diajukan, dan sudah mendapatkan rekomendasi dari Satgas Penanganan Covid-19 Kota Solo. Sudah kami panggil panitianya yang terkait penerapan protokol kesehatan selama kegiatan. Izin sudah kami terbitkan,” ujarnya.
Ade menjelaskan Satgas Penanganan Covid-19 Solo memberikan rekomendasi terhadap acara pre-event Rock In Solo 2021 tersebut dengan sejumlah catatan atau syarat. Persyaratan tersebut terkait dengan keharusan penerapan prokes seperti pembatasan jumlah peserta, swab antigen dan sudah vaksin dosis dua bagi semua penonton yang datang.
Melihat kejadian itu, ahli hukum asal kota Solo Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H atau akrab disapa Dr. Taufiq memberikan tanggapan.
“Ini bener-bener polisi berpolitik, kegiatan Reuni 212 yang diadakan kemarin di berbagai wilayah Indonesia, namun dipermasalahkan oleh pihak kepolisian. Mereka tidak diijinkan dengan alasan Covid,” ujarnya kepada Panjimas.com, (3/12/2021).
“Sementara itu dipihak lain Mabes Polri tetap mengijinkan berbagai kegiatan dengan protokol Covid. Konser musik di Solo diijinkan. Aneh, kegiatan lain di masa yang sama dibuat ketat dan diancam pidana,” sambungnya.
Ia menilai bahwa kegiatan Reuni 212 dan sejenisnya itu hanya cukup dengan pemberitahuan bukan ijin. Menurutnya tidak ada alasan aparat menolak atau tidak diijinkan.
“Sekarang kegiatan Reuni 212 dilarang dengan alasan Covid. Itu tidak ada kaitannya,” katanya
Dr. Taufiq memberikan sebuah contoh, misalnya kegiatan balap motor di Mandalika yang tetap diperbolehkan meskipun menimbulkan kerumunan massa. Ia mengingatkan, UU 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah penjaminan terhadap salah satu hak asasi manusia.
Bentuk penyampaian pendapat di muka umum Dapat dilaksanakan dengan:
- unjuk rasa atau demonstrasi;
- pawai;
- rapat umum; dan atau.
- mimbar bebas.
UU yang dibuat era Presiden Habibie tersebut menurutnya menjamin warga negara menyampaikan pendapat atau ekspresi yang berbeda dengan pemerintah.
“Saya hanya mengingatkan UU 9/1998 ini dibuat Presiden Habibie, dan kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah atau peraturan polisi tentang Covid. Jadi pelarangan ini hanya alasan yang dicari-cari,” kata Presiden Asosiasi Ahli Pidana Indonesia itu.
Ia menghimbau untuk tetap lakukan kegiatan dan jaga protokol kesehatan.
“Tidak ada alasan bagi negara terutama kepolisian untuk melarang pengunjuk rasa. Jadi tetap lakukan. Cukup pemberitahuan tidak perlu ijin,” tegasnya. [panjimas]