GELORA.CO -Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyerukan aksi mogok nasional kepada para buruh di tanggal 6-8 Desember.
Hal ini sebagai penolakan terhadap penetapan kenaikan upah minimum yang cenderung kecil karena formula hitung-hitungan di dalam UU Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal menyatakan aksi mogok ini adalah alat konstitusi yang bisa digunakan buruh untuk memprotes kebijakan yang berlaku dan merugikan para buruh.
"Jadi kami maksud mogok nasional sekali lagi saya sampaikan bahwa itu bukan tujuan itu hanya alat. Alat serikat buruh secara konstitusional," ungkap Said Iqbal dalam Blak-blakan detikcom.
Aksi mogok nasional kali ini ditentang oleh para pengusaha, mereka menilai aksi mogok buruh cenderung tidak sesuai dengan aturan yang ada. Pengusaha menilai mogok nasional harus ada didahului oleh perundingan yang berujung kebuntuan dan diberitahukan sejak 7 hari sebelumnya. Namun kali ini hal itu tidak ada yang dilakukan para buruh.
Sementara Said Iqbal menilai aksi yang dilakukan pihaknya sah-sah saja sesuai undang-undang yang berlaku. Dia mengatakan memang mogok nasional secara aturan tercantum di UU 13 tahun 2003, aturannya pun persis seperti yang diungkap pengusaha.
Namun yang dilakukan pihaknya kali ini sebetulnya bukan mogok kerja dengan menyetop produksi seperti di UU 13 tahun 2003. Dia bilang aksi yang dilakukan adalah perwujudan unjuk rasa buruh sesuai UU 9 tahun 1998. Syaratnya cuma pemberitahuan selama 3x24 jam dan itu akan dilakukan oleh pihaknya.
Dia melanjutkan unjuk rasa kali ini dilakukan di lingkungan pabrik-pabrik, maka pekerja yang melakukan produksi akan diminta berhenti. Dengan begitu, seakan-akan aksi ini menjadi sebuah aksi mogok nasional, padahal itu cuma unjuk rasa biasa yang dilakukan sporadis di pabrik-pabrik.
"Tapi ini adalah unjuk rasa secara nasional di mana lokasinya ada di lingkungan pabrik, karena di lingkungan pabrik maka buruh yang akan bekerja ikut, boleh kan selama memberitahu selama 3x24 jam. Karena dia ikut maka setop produksi, jadi seperti mogok," kata Said Iqbal.
Sejalan dengan aksi tersebut, Said Iqbal mengatakan buruh ingin melawan keputusan upah minimum dalam UU Cipta Kerja, apalagi setelah undang-undang ini diputuskan Mahkamah Konstitusi harus diperbaiki dalam waktu 2 tahun ke depan.
Nah, keputusan MK itu menurut para buruh seharusnya menangguhkan aturan hukum yang terdapat pada UU Cipta Kerja. Tak terkecuali penetapan upah minimum dengan formula baru yang ditetapkan pada aturan turunan UU Cipta Kerja PP no 36 tahun 2021.
Said Iqbal mengatakan dasar keputusan MK yang baru menyebutkan kebijakan strategis dan berdampak luas macam pengupahan harusnya ditangguhkan. Dasar aturan pengupahan pun diminta untuk kembali mengacu kepada UU 13 tahun 2003.
"Dasar keputusan MK yang baru adalah terhadap kebijakan atau tindakan strategis dan berdampak luas maka ditangguhkan, MK menyatakan ditangguhkan. Dengan dasar itu, PP 36 2021 tidak lagi dijadikan dasar oleh bupati dan wali kota karena berdampak luas dan strategis," ungkap Said Iqbal kepada tim Blak-blakan detikcom.
"Sebagaimana PP 36 2021 pasal 4 ayat 2 menyatakan upah minimum adalah proyek strategis. Sesuai keputusan MK menyatakan ditangguhkan, ditunda, atau tidak diberlakukan," lanjutnya.
Said Iqbal pun menegaskan agar kepala daerah dapat melakukan keputusan MK tersebut. Dia pun mengatakan banyak wali kota dan bupati yang sebenarnya akan menetapkan upah minimum kota/kabupaten (UMK) sesuai dengan hitungan lama dan tidak mengacu pada UU Cipta Kerja.
Hanya saja, hal itu justru tertahan persetujuan gubernur di tingkat provinsi. Padahal wali kota dan bupati sudah melakukan diskusi dengan pengusaha dan buruh soal upah minimum.
"Jangan diubah lagi sama Gubernur, mereka kan cuma pekerjaan administrasi untuk memastikan bahwa apa yang diputuskan bupati walikota dalam bentuk administrasi," kata Said Iqbal.(detik)