GELORA.CO - Harapan Ketua KPK Firli Bahuri agar presidential threshold atau ambang batas presiden 0 persen dan mahar politik nol rupiah guna menghindari terjadinya money politik pada saat pemilu dan juga agar tokoh bangsa yang memiliki potensi dan kapablitas sebagai presiden bisa mencalonkan diri tak disetujui PDIP.
Poitisi PDI Perjuangan Deddy Yevri Hanteru Sitorus menyampaikan bahwa pelaksanaan pemilu harus merujuk pada konstitusi dan filosofi lahirnya aturan tersebut.
"Tidak bisa serta merta,” kata Deddy kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin (13/12).
Deddy mengatakan Indonesia menganut sistem demokrasi, namun dengan adanya PT 0 persen, demokrasi di Indonesia akan menjadi liberal dan tidak bisa dikendalikan. Pihaknya meragui dengan adanya nol persen bisa menjadikan mahar nol rupiah.
"Kan negara kita ini negara demokrasi gotong royong, kalau dengan nol persen itu demokrasi liberal, murni. Implikasi politik dan implikasi sosialnya kan dia harus itung dulu dengan cermat. Bener enggak bahwa dengan nol persen serta merta tidak ada mahar?,” katanya.
Di PDI Perjuangan, kata Deddy, tidak pernah ada mahar politik untuk maju sebagai calon presiden maupun calon kepala daerah.
"Kalau kayak kita di PDI Perjuangan enggak pernah ada urusan mahar, itu komitmen kita terhadap pemimpin tertinggi. Jangankan untuk presiden, untuk kepala daerah aja kita enggak ada mahar-maharan kecuali kewajibannya dalam konteks pemenangan dan pengamanan suara, saksi, gitu aja,” katanya.
Menurutnya, KPK harus bergerak untuk tidak terjadinya money politik yang bisa menjurus pada budaya korupsi. Namun, dia mengaku sanksi jika mahar politik Rp.0 bisa menjamin tidak adanya praktik money politik atau korupsi.
"Kalau pengamanan supaya tidak ada politik mahar yang bisa masuk dalam kategori korupsi ya KPKnya yang harus bekerja. Karena tidak ada jaminan dengan 0persen akan no mahar. Bukan jaminan. Apakah itu juga akan mengurangi korupsi politik? Bisa iya bisa tidak. Tapi kalau menurut saya tidak,” ucapnya.
Dia menambahkan budaya korupsi sudah mengakar di Indonesia sehingga sulit untuk dihindari terjadinya praktik-praktik nakal pada saat pemilihan umum. Pihaknya justru mendorong KPK untuk melakukan pengawasan yang ketat.
"Karena, korupsi itu adalah sebuah kebiasaan yang membudaya, tentu harus melalui yang namanya rekayasa kebudayaan dong. Mulai dari anak kecil dididik anti kprupsi anti penyimpangan, lalu adanya sistem yang kuat dan hebat, KPK kan sudah punya dana yang besar sekali, untuk melakukan pengawasan,” bebernya.
"Tapi kan ada turunan UU yang mungkin juga harus diperbaiki, misalnya UU pengadaan barang dan jasa, mekanisme pengangkatan pejabat publik ya to, lalu mekanisme anggaran yang pas yang bisa diawasi misalnya gitu lho soal e-prok, e-bidding dsb itu kesana aja,” tutupnya. [rmol]