GELORA.CO - Nahdlatul Ulama (NU) mengharamkan pemerintah mengambil tanah yang ditempati rakyat yang sudah bertahun-tahun.
Fatwa haram NU ini merupakan keputusan dari Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi’iyah Muktamar Ke-34 NU di Lampung pada 22-24 Desember 2021 membahas pengambilan tanah rakyat oleh negara.
Dalam putusan tersebut NU merekomendasikan kepada pemerintah untuk memberikan legal formal kepemilikan atas lahan garapan yang dikelola oleh rakyat yang ditempati bertahun-tahun.
Proses pemberian legalitas itu dengan iqtha atau mengelola tanah yang sudah dikelola dan siap langsung untuk ditanami dan ihya’ul mawat atau memanfaatkan tanah untuk keperluan apapun.
Sekretaris Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah, KH Sarmidi Husna mengatakan, komisinya membahas secara hukum syariat perampasan tanah yang sudah ditempati rakyat selama bertahun-tahun yang belum mendapatkan rekognisi status kepemilikannya oleh negara.
Ketua Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar NU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) mengatakan, hukum perampasan tanah tanah yang sudah ditempati rakyat oleh di-tafshil (dirinci).
“Tanah yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' (redistribusi lahan) oleh pemerintah atau ihya’ (pengelolaan lahan), maka pemerintah haram mengambil tanah tersebut,” kata Gus Ghofur dalam sidang pleno Muktamar Ke-34 NU di Gedung Serbaguna Unila, Bandarlampung, Jumat (24/12/2021) yang dilansir dari laman NU.
Gus Ghofur mengatakan, pemerintah tidak boleh mengambil lahan yang sudah dikelola oleh rakyat selama bertahun-tahun baik melalui proses iqtha' oleh pemerintah maupun ihya’.
Pria yang akrab disapa Gus Ghofur mengatakan sebenarnya keadilan dan kemaslahatan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Tanpa rekognisi, rakyat yang mengelola lahan selama bertahun-tahun sangat rentan mengalami penggusuran dan terlibat dalam konflik-konflik agrarian.
Pembahasan ini berangkat dari ketimpangan penguasaan lahan yang terjadi selama puluhan tahun di Indonesia.
Kecuali itu, pembahasan ini berngkat dari konflik-konflik agraria yang melibatkan masyarakat dan negara.
Sejak UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dijalankan, ketimpangan penguasaan agraria dan sumber daya alam semakin mendalam antara sektor pertanian rakyat dan pertanian/perkebunan besar atau antara sektor pertanian dan nonpertanian.
Selain membahas perampasan tanah rakyat oleh negara, Komisi Waqi'iyah Muktamar Ke-34 NU juga membahas cara penentuan jenis kelamin seseorang dengan gejala interseksual dan batas ketinggian hilal terkait imkanur ru’yah. [poskota]