GELORA.CO -Tak ada kata menyerah dalam perjuangan Lieus Sungkharisma untuk mendorong penghapusan Presidential Threshold. Aktivis Tionghoa ini kembali mengajukan pengujian Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Hal itu tertuang dalam surat permohonan yang ditujukan Lieus kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada Senin (27/12).
Untuk memperkuat permohonannya, Lieus pun menyertakan sejumlah dalil sebagai sebuah legal standing bagi hakim MK. Terlebih pada 14 Januari 2021, legal standing Lieus sebagai pemohon pernah ditolak MK melalui putusan bernomor 74/PUUXVIII/2020.
"Pemohon tetap dengan keyakinan penuh mengajukan permohonan ini dengan harapan Mahkamah akan mengabulkan permohonan, baik legal standing Pemohon maupun substansi Permohonan," tulis Lieus dalam surat permohonannya kepada MK yang dikutip Redaksi, Selasa (28/12).
Melalui surat permohonan ini, Lieus menegaskan bahwa Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, yang mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional” bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.
Sebab, Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945, pada pokoknya berbunyi: “Syarat-syarat
untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undangundang”.
Menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal, paparnya, syarat-syarat
sebagaimana dimaksud Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 a quo, pengaturan lebih lanjut diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, yang memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut: (1) diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum; (2). diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum;
Dengan demikian, keberlakuan presidential threshold tidak memenuhi
kedua syarat tersebut. Sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur
persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden.
Lebih lanjut, papar Lieus, dengan penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR dan Pemilihan Umum Presiden dilaksanakan secara serentak pada Tahun 2024, maka mutatis mutandis pemberlakuan syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) menjadi tidak relevan lagi.
Sebab, praktis basis suara yang dipergunakan dalam memenuhi syarat dukungan calon presiden dan wakil presiden diperoleh dari pemilih yang telah meninggal dunia.
Secara faktual, pemilih yang telah menggunakan hak pilihnya pada
Pemilihan Umum 2019, beberapa di antaranya telah meninggal dunia, salah
satunya diakibatkan oleh massifnya penyebaran coronavirus (Covid-19).
Berkaca pada masa lalu, tutur Lieus, sesungguhnya legitimasi atau dukungan terhadap Joko Widodo dan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden 2019 juga diberikan oleh pemilih yang telah meninggal dunia. Sebab beberapa di antara pemilih yang telah menyalurkan suaranya pada Pemilihan Umum 2014 telah meninggal dunia atau wafat.
Dengan demikian, merujuk berbagai argumentasi di atas, maka sudah
menjadi keharusan bagi Mahkamah untuk menyatakan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 a quo telah terbukti melanggar ketentuan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, tegas Lieus.
Dalam Petitumnya, Lieus pun meminta Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan untuk seluruhnya. Lalu menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Terakhir, memerintahkan pemuatan Putusan MK ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau jika Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia mempunyai keputusan lain, mohon putusan yang seadil-adilnya -ex aequo et bono. (RMOL)