GELORA.CO - Pengamat Politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komaruddin sependapat dengan pernyataan KontraS, bahwa Presiden Joko Widodo hanya lip service terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Pasalnya, kata Ujang, faktanya tidak ada penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM berat.
"Iya (lip service) fakta -faktanya kan nggak ada pelanggaran HAM yang tuntas," ujar Ujang kepada Suara.com, Senin (13/12/2021).
Ia menyinggung penembakan terhadap enam laskar khusus Front Pembela Islam (FPI) oleh pihak kepolisian. Menurut Ujang kasus tewasnya enam Laskar FPI merupakan kasus pelanggaran HAM yang harus diselesaikan.
"Bahkan pembunuhan tujuh laskar FPI itu pelanggaran HAM loh dibunuh," ucap dia.
Selain itu, Dosen Universitas Al Azhar Indonesia itu juga menyinggung kasus pelanggaran HAM masa berat yang diduga dilakukan Prabowo Subianto justru malah mendapat jabatan Menteri Pertahanan.
Bahkan Prabowo memberikan jabatan kepada anggota eks tim mawar di Kemenhan.
"Pelanggaran-pelanggaran HAM lain yang besar. Apalagi misalkan tim Pak Prabowo yang tim Mawar itu sekarang bahkan jadi pejabat di Kemenhan yang dianggap dulu melanggar HAM karena diduga menculik aktivis," tutur Ujang.
Ujang melanjutkan seharusnya Jokowi menyampaikan hal yang sesuai fakta kepada masyarakat soal penuntasan kasus HAM.
"Mestinya yang disampaikan itu sesuai dengan fakta dan kenyataan. karena bagaimana rakyat menilai dengan jelas. termasuk kontraS menilai apa yang disampaikan KontraS tidak salah," katanya.
Sebelumnya, sepanjang Desember 2020 hingga November 2021, KontraS dalam catatan bertajuk "HAM Dikikis Habis" menyebut, pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada beberapa kesempatan soal penuntasan pelanggaran HAM masa lalu secara praktik tidak berjalan.
Dengan kata lain, tidak ada kebijakan yang sesuai dengan nilai dan prinsip kemanusiaan yang berlangsung secara universal di Indonesia.
Ahmad Sajali, Divisi Pemantauan Impunitas KontraS mengatakan, pihaknya tidak melihat adanya satu itikad baik dari pemerintah untuk melakukan evaluasi dan koreksi dalam rangka menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu.
Dengan kata lain, hal itu menjadi berbanding terbalik dengan beberapa pidato Jokowi dan berujung pada isapan jempol belaka atau 'The Lip of service'.
"Sehingga kami melihat bahwa ini adalah bentuk dari Lip Service Jokowi sebagaimana telah ramai yang disuarakan oleh kelompok masyarakat, mahasiswa dan juga sebagainya," kata Sajali di kantor KontraS, Kramat, Jakarta Pusat.
Sajali menyampaikan, hingga kekinian para keluarga korban kasus pelanggaran HAM berat masa lalu terus menuntut keadilan. Hal paling nyata adalah Aksi Kamisan yang setiap pekan berlangsung.
Faktanya, pemerintah sebagai pihak yang mempunyai peranan penting dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat, dalam hal ini Jaksa Agung, tidak pernah membuka ruang nyata bagi komunikasi terhadap keluarga korban.
Sajali mengatakan, sepanjang 2021, KontraS mencatat jika penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu makin berjalan mundur. Contoh paling nyata adalah diangkatnya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan RI.
Dalam bahasa Sajali, "Jokowi menggelar karpet merah untuk penjahat atau pelanggar HAM berat."
Diketahui, Prabowo diduga terlibat dalam serangkaian penculikan terhadap sejumlah aktivis pada penghujung rezim Orde Baru tahun 1997-1998. Bahkan, Prabowo juga memberikan karpet merah kepada dua anggota eks Tim Mawar, Brigadir Jenderal TNI Dadang Hendrayudha dan Brigjen TNI Yulius Selvanus di kementerian yang dipimpinnya.
Tidak berhenti di situ saja, jalan mulus kepada pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu terus diberikan oleh rezim Jokowi. Eurico Guterres, tokoh Timor Timur yang pro dengan NKRI -- yang juga pelaku pelanggaran HAM-- diberikan penghargaan Bintang Jasa Utama.
Sajali melanjutkan, kemunduran juga dibuktikan dengan nihilnya agenda penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu di Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021 - 2025. Hingga pada akhirnya, KontraS mengambil kesimpulan bahwa implementasi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu terus memudar hingga hari ini.
"Kami akhirnya mengeluarkan statement bahwa komitmen untuk menyelesaikan HAM berat itu betul-betul hanya wujud kata-kata dan pidato saja dan implementasinya begitu pudar sampai hari ini," tegas Sajali. [suara]