Jawa-Non Jawa, Mitos Sesat Bikinan Belanda Terbawa Sampai Pilpres...

Jawa-Non Jawa, Mitos Sesat Bikinan Belanda Terbawa Sampai Pilpres...

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Arief Gunawan*

BUNG Hatta di tahun 1951 menulis satu artikel yang mengkritik penulisan sejarah yang bercampur dengan dongeng dan legenda, yang disebutnya Dichtung und Wahrheit (Yang dibuat-buat dan Yang benar).

Sehingga akibatnya masyarakat meyakini seolah-olah sejarah bercampur dongeng dan legenda itu sebagai kebenaran. Meskipun ternyata hanya mitos belaka.

“Tiap-tiap kejadian yang bersejarah seringkali diikuti oleh dongeng dan legenda. Legenda ini ada yang lahir dari fantasi, karena ingin mendapat kenang-kenangan yang lebih bagus dari yang sebenarnya,” tulis Bung Hatta.

Dalam artikel di majalah Mimbar Indonesia itu lebih jauh Hatta menekankan, legenda dan dongeng yang bercampur di dalam kejadian bersejarah seringkali secara sengaja dihidup-hidupkan dan dipupuk oleh sesuatu golongan yang berkepentingan maupun untuk keperluan politik.

“Gambaran seperti itu lebih banyak memakai warna cita-cita pengarangnya daripada menyerupai kejadian yang sebenarnya,” tandas Hatta.

Orang Belanda waktu menjajah memang gemar membangun mitos. Sedang masyarakat kita mudah sekali termakan olehnya.  

Metode nativisasi yang digunakan oleh Snouck Hurgronje mencakup di dalamnya adalah mengembangkan mitos-mitos, termasuk tahayul, hingga mistik untuk menjauhi ajaran Islam.

Legenda Nyai Roro Kidul adalah mitos untuk mengikis jiwa bahari masyarakat Jawa.

Joko Tingkir menunggang 40 ekor buaya juga mitos untuk mendapatkan legitimasi dalam perang tahta keraton yang disponsori Belanda.

Amangkurat II oleh rakyatnya didesas-desuskan sebagai orang Belanda dan anak kandung Admiral Speelman (Gubernur Jenderal), karena sering berpakaian seragam ala admiral, sehingga dijuluki Sunan Amral (dari kata “admiral”).

Para pembesar Belanda mengarang mitos Indonesia 350 tahun dijajah, yang dibantah oleh ahli hukum internasional, Profesor G.J Resink sebagai konstruksi politik kolonial belaka.

Mitos 350 tahun dijajah dipopulerkan oleh para politisi Belanda dan buku-buku pelajaran sekolah kolonial. Yang menyebut Nusantara sebagai Netherlands Overseas (Netherlands in The Tropics).

Namun nyatanya sampai awal abad ke 20 masih banyak kerajaan Nusantara yang berdaulat dan tak bisa ditaklukkan.

Kerajaan Bali baru dapat dikuasai oleh Belanda pada tahun 1910. Ternate tahun 1923. Ruteng 1928, Toraja 1910. Sedangkan Sulawesi Selatan baru bisa ditaklukkan pada 1905.

Para tokoh pejuang kemerdekaan termasuk Sukarno memakai mitos ini untuk mengobarkan api perjuangan di dada rakyat. Namun belakangan mitos ini malah dianggap sebagai kebenaran absolut oleh masyarakat.

Tentang mitos dalam sejarah Tan Malaka juga berkata:

“Riwayat Indonesia tidak mudah dibaca. Apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian, dongengan-dongengan, karangan-karangan dan pertentangan. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur. Paling banter kita cuma mempunyai tukang-tukang dongeng, penjilat-penjilat raja yang menceritakan berbagai macam keindahan dan kegemilangan, supaya tertarik hati si pendengar ...”

Apa sebenarnya yang dimaksud mitos?

Mitos adalah cerita sejarah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sebuah peristiwa yang terlalu dilebih-lebihkan. Kepercayaan yang tidak berdasarkan fakta ilmiah, yang mendekati kebohongan dan manipulasi.

Ahli sejarah Jawa, Hermanus Johannes De Graaf, mengungkapkan pula kuatnya unsur mitos dalam Babad Tanah Jawa. Kebenaran Babad menurutnya ialah kebenaran historis yang berbaur dengan legenda dan simbolisme.

Bagaimana dengan dikotomi Jawa dan non Jawa dalam konteks pemilihan presiden ?

Pada masa pergerakan kemerdekaan pertentangan seperti ini tidak pernah terjadi. Sulit dibayangkan peristiwa seperti Sumpah Pemuda 1928 dapat berlangsung apabila para tokoh saat itu membatasi diri dengan dikotomi Jawa-non Jawa.

Sulit pula dibayangkan kata “merdeka” dan “Indonesia” dapat dicetuskan oleh para mahasiswa Indonesia dari berbagai daerah yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia, di negeri Belanda, tanpa lebih dulu mereka membuang mindset etno-nasionalisme sempit.

Sukarno-Hatta naik menjadi presiden dan wakil presiden bukan karena keduanya merepresentasikan kesukuan (Jawa dan non Jawa), melainkan lebih karena suatu kebutuhan untuk menyeimbangkan penyelesaian persoalan ril politik dan ekonomi yang terjadi pada masa itu. Termasuk adanya kebutuhan terhadap figur yang lebih memahami lapangan diplomasi internasional yang terdapat pada diri Hatta.

Dwitunggal Sukarno-Hatta sesungguhnya lebih disimbolkan sebagai solidarity maker dan administration maker. Kedua-duanya merupakan simbol pemersatu.

Kaum terdidik yang menjadi pemimpin pada masa itu umumnya telah membuang jauh-jauh sikap percaya kepada mitos, mereka umumnya adalah para pendobrak tradisi kolot yang penuh tabu dan pamali.

Dikotomi Jawa dan non Jawa yang merupakan mitos sesat bikinan Belanda seolah menemukan pembenarannya pada masa Soeharto yang sedemikian lama menjadi presiden (32 tahun).

Sehingga syahdan berkembang pameo:

Figur wapres boleh berganti-ganti dari berbagai suku, tapi presidennya harus orang Jawa ...

Cara berpikir seperti ini bukan saja melanggengkan mitos sesat bikinan Belanda, tetapi juga sangat diskriminatif, karena menciptakan kesan figur-figur non Jawa yang memiliki kapasitas kepemimpinan seolah hanya layak menempati posisi nomor dua.

Cara berpikir feodalistik dan superioritas primordialistik seperti ini sangat jauh dari cita-cita demokrasi yang berkeadilan.

Mindset sesat yang mempertahankan mitos warisan kolonialis Belanda harus dibuang. Kriteria utama untuk menjadi presiden bukan lagi Jawa atau non Jawa, tapi paramaternya haruslah integritas, track record, prestasi, dan ciri kemampuan problem solver.

Selain itu figur calon presiden tersebut harus memiliki standar etika yang tinggi, tidak KKN, bukan komprador  aseng-asing yang siap menjual aset bangsa dan kekayaan negeri dengan menjadi boneka Beijing.

Kriteria inilah yang akan mampu menjawab berbagai persoalan yang menimpa negeri ini saat ini.

Mempertahankan kriteria kesukuan dalam pilpres, maka sama artinya menyetarakan negeri ini dengan negara-negara Afrika yang masih serba terbelakang.

Di sana pemilihan pemimpin ditentukan berdasarkan aspek tribalisme, dimana pemimpin terpilih hanya setia kepada suku atau kelompoknya saja.

Sebuah kriteria yang tentu saja sangat sempit, picik, dan juga berbahaya bagi masa depan persatuan bangsa. 

*) Penulis adalah pemerhati sejarah
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita