Oleh: Moch Eksan
ADA sebuah tontonan politik demokratis paling apik di akhir Desember 2021 ini. Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 pada 2021 di Lampung, berlangsung dengan aman, damai, teduh dan sejuk.
Perebutan kursi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sangat sengit namun kondusif. Semua kubu yang bertarung menunjukkan kedewasaan sebagai ulama yang sudah sangat matang.
Proses pemilihan Ketua Umum PBNU tak diwarnai kericuhan sedikit pun. Pelaksanaan penjaringan calon dan pencalonan berlangsung dengan penuh riang gembira dan tawa. Forum Rapat Pleno IV Muktamar NU berjalan tertib dan teratur.
Para muktamirin pemegang suara dapat menyalurkan aspirasi wilayah, cabang dan cabang istimewa sesuai hati nurani tanpa intimidasi apa pun.
Muktamar NU kali ini dapat menjadi contoh politik demokratis adiluhur yang memperagakan keagungan moral bersumber dari akhlaqul karimah. Proses pemilihan Ketua Umum PBNU berjalan demokratis, free and fair.
Peristiwa ini menjadi bantahan atas dugaan potensi konflik yang menyeret NU pada gerbang pintu perpecahan. Perbedaan pendapat ternyata dapat dikelola dangan manajemen yang baik, sehingga melahirkan euforia kebanggaan menjadikan NU pilar keadaban demokrasi dunia.
Pada tahap penjaringan, muncul 5 nama bakal calon Ketua Umum PBNU. Di antaranya: KH Yahya Cholil Staquf 327 suara, KH Aqil Siroj 203 suara, KH As'ad Said Ali 17 suara, KH Marzuki Mustamar 2 suara, Ramadhan Bariyo 1 suara.
Dari nama-nama tersebut yang berhak maju pada tahap selanjutnya, hanya Gus Yahya dan Kiai Said yang mengantongi dukungan di atas minimal 99 suara.
Dua nama tersebut dimintai kesediaan oleh pimpinan Rapat Pleno yang diketahui oleh Prof Dr HM Nuh.
Di hadapan forum, Gus Yahya dan Kiai Said menyatakan bersedia. Keduanya juga mendapat restu dari Rois Aam, KH Miftachul Akhyar untuk mencalonkan diri sebagai calon Ketua Umum PBNU.
Kendati para muktamirin belum tidur, Muktamar NU membuat para aktivis NU seluruh Nusantara tetap terjaga mengikuti detik demi detik perebutan kursi tersebut.
Mereka tetap semangat dan penuh kesabaran mengikuti pemungutan suara dan penghitungan suara sang calon yang diusungnya. Proses pemilihan Ketua Umum PBNU menelan waktu tak kurang dari 12 jam lebih.
Sampai pada saat yang menentukan, hasil penghitungan suara ditetapkan. Gus Yahya memperoleh 337 suara. Ada tambahan 10 suara. Dan Kiai Said 210 suara. Berarti ada tambahan 7 suara.
Barangtentu tambahan suara tersebut berasal limpahan suara dari bakal calon yang tak memenuhi syarat dukungan untuk maju pada tahapan selanjutnya. Hasil akhir pemilihan ini mengukuhkan paket Kiai Miftah sebagai Rois Aam dan Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU.
Atas inisiasi Saifullah Yusuf, Gus Yahya dan Kiai Said diminta maju untuk menyampaikan pidato pasca pemilihan Ketua Umum PBNU. Ini momen yang sangat mengharukan.
Banyak air mata para tokoh dan muktamirin menetes haru bahagia. Menyaksikan dua tokoh terbaik NU tersebut saling memuji dan saling berangkulan. Benar-benar Muktamar NU yang semula gegeran akhirnya gergeran.
Muktamar NU ke-34 merupakan muktamar yang terbaik. Muktamar NU yang paling tertib dan sejuk. Pengalaman buruk Muktamar NU yang gaduh dan ricuh pada masa-masa sebelumnya, sungguh-sungguh menjadi pelajaran berharga. Semua telah mempersembahkan yang terbaik guna menyumbangkan keadaban demokrasi NU untuk dunia.
Keadaban demokrasi NU ini disemai di atas nilai musyawarah yang disebut dua kali dalam Al-Quran. Disamping, pengalaman panjang NU dalam menerapkan sistem musyarawah mufakat dalam memilih pemimpin di berbagai level.
Bahtsul Masail Diniyah Maudhu'iyah pada Muktamar NU ke-30 pada 1999 di Lirboyo Kediri, menerima demokrasi sebagai tatanan yang mengatur hubungan negara dengan rakyat. Tatanan ini berdasarkan nilai universal seperti persamaan, kebebasan dan pluralisme. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang membawa misi rahmat bagi seru sekalian alam.
Dalam prakteknya, untuk membumikan nilai demokrasi, banyak terjadi benturan kepentingan yang menggoncang jam'iyah dan jamaah NU.
Pengalaman tragis KH Abdurrahman Wahid dan KH Hasyim Muzadi pada Muktamar NU ke-31 dan Muktamar NU ke-33 yang mengalami persekusi di organisasi yang ikut dibesarkannya, telah mematangkan sistem pemilihan pimpinan NU. Termasuk perubahan sistem pemilihan langsung pada ahlul halli wal aqdi (AHWA).
Yang paling menarik dari semua itu, pelaksanaan demokrasi NU tak melahirkan oligarki dan dinasti politik dalam kepemimpinan NU selama 2 dekade ini. Sirkulasi elite berjalan tertib dan damai, serta menjamin regenerasi kepemimpinan NU dari dalam maupun luar keluarga pesantren.
Dunia mesti belajar pada success story NU dalam membumikan demokrasi. Pada saat sebagian dunia mulai kurang percaya demokrasi dan ingin beralih pada sistem lain.
Tanda kebangkrutan demokrasi global akibat kekerasan pemilihan presiden Amerika Serikat, menyisakan luka dalam dari pendukung Joe Biden dan Donald Trump.
NU menawarkan nilai dan pengalaman mengelola demokrasi di internal organisasi dan menjadi pilar penting dari demokrasi Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga di dunia.
Gus Yahya sebagai Ketua Umum PBNU pilihan yang paling tepat kata Kiai Said, untuk bertindak demi dan atas nama NU untuk menyuarakan pendapat ulama pesantren tersebut pada dunia internasional
*(Penulis adalah mantan Wakil Sekretaris PCNU Jember dan Pendiri Eksan Institute)