GELORA.CO - Para pengungsi Rohingya dari Myanmar menggugat Meta Platform Inc, yang sebelumnya dikenal sebagai Facebook, senilai 150 miliar dolar AS atau sekitar Rp 2,1 kuadriliun.
Facebook dituding telah membiarkan kampanye ujaran kebencian di Myanmar, yang kemudian memicu terjadinya genosida terhadap etnis minoritas Rohingya
Gugatan tersebut diajukan di California, AS pada Senin (6/12/2021) oleh firma hukum Edelson PC dan Fields PLLC. Dua firma hukum itu mengatakan bahwa Facebook telah gagal menertibkan konten-konten ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingya. Selain itu, desain platform Facebook juga dinilai berkontribusi terhadap kekerasan terhadap komunitas Rohingya di dunia nyata.
Sementara menurut BBC, dalam gugatan itu Facebook dinilai bersalah karena empat hal. Pertama, algoritma Facebook telah mengamplifikasi ujaran kebencian terhadap orang Rohingya.
Kedua, Facebook tidak memiliki moderator dan pemeriksa fakta yang memahami situasi politik atau konteks politik di Myanmar. Ketiga, Facebook tidak memblokir atau menghapus postingan yang memprovokasi kekerasan terhadap warga Rohingya.
Terakhir, Facebook tidak memberikan respons tepat dan cepat setelah menerima peringatan dari berbagai organisasi serta media terkait ujaran kebencian terhadap minoritas Rohingya.
Facebook sendiri belum memberikan komentar terkait gugatan tersebut. Tetapi sebelumnya perusahaan itu sempat mengakui bahwa pihaknya terlambat mencegah penyebaran misinformasi serta kebencian di Myanmar.
Sebagai pembelaan, Facebook juga pernah mengatakan pihaknya tidak bertanggung jawab atas konten-konten yang disebar oleh pihak ketiga atau pengguna dalam platformnya. Dasar hukumnya adalah Section 230, yang juga dikenal sebagai undang-undang internet di Amerika Serikat.
Lebih dari 730.000 warga minoritas Muslim Rohingya mengungsi dari negara bagian Rakhine, Myanmar pada 2017 akibat operasi militer yang digelar oleh pemerintah Myanmar. Sekitar 10.000 orang tewas dalam pembantaian massal dan ribuan lainnya menjadi korban pemerkosaan.
Sebuah investigas Reuters pada 2017 menemukan lebih dari 1000 postingan, komentar, serta foto berisi ujaran kebencian serta hoaks yang menyasar minoritas Rohingya di Facebook.
Sementara para penyidik HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018 menemukan bahwa Facebook terbukti memainkan peranan kunci dalam menyebarakan kebencian yang mengarah pada pembantaian massal komunitas Rohingya di Myanmar.
Pada September lalu sebuah pengadilan federal di AS telah memerintahkan Facebook untuk membuka data-data milik akun-akun yang terkait dengan genosida Rohinyga di Myanmar. Perintah pengadilan ini terkait dengan gugatan yang diajukan pemerintah Gambia terhadap Myanmar di Mahkamah Internasional.[suara]