GELORA.CO - Isu presidential threshold kembali mengemuka setelah beberapa pihak mengajukan permohonan untuk menghilangkan ambang batas 20 persen. Beberapa pihak tersebut di antaranya Ferry Joko Yuliantono yang merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainuddin asal Lampung.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi sudah pernah mengadili kasus serupa sebanyak 13 permohonan. Namun, semuanya kandas.
Namun begitu, ternyata ada dua Hakim Mahkamah Konstitusi yang diam-diam ternyata menolak presidential threshold. Keduanya adalah Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo.
Hal itu terungkap dengan merujuk pada Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 di mana pemohonnya saat itu adalah Rhoma Irama selaku Ketua Umum Partai Islam Damai Aman (Idaman). Alasan yang digunakan oleh Saldi Isra dan Suhartoyo salah satunya adalah argumen threshold membelokkan teks konstitusi.
Menurut keduanya. Mahkamah Konstitusi seharusnya fokus pada pemenuhan hak konstitusional dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa desain konstitusi menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu.
Dengan kata lain, Saldi dan Suhartoyo menghendaki agar Mahkamah Konstitusi tidak menghalangi jumlah peserta pemilu dari partai politik, melainkan lebih pada pemenuhan hak konstitusional partai politik.
Secara tekstual, hak konstitusional partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, diatur dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945. Hal ini berbeda dengan hak konstitusional partai politik peserta pemilu di mana pandangan terkait design penyederhanaan partai politik tidak diatur dan lebih berada dalam wilayah pemaknaan atau tafsir. Padahal, dalam teori konstitusi, secara tegas melarang atau menutup celah terjadinya penafsiran yang berbeda dari teks konstitusi.
Bila pembentuk undang-undang yang dalam hal ini adalah DPR membelokkan teks konstitusi, maka menjadi kewenangan MK untuk meluruskan sekaligus mengembalikannya kepada teks konstitusi sebagai mana mestinya. Dengan demikian, sulit diterima penalaran yang wajar apabila Mahkamah Konstitusi lebih memilih untuk memberikan prioritas dan mendahulukan tafsir design penyederhanaan partai politik yang sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945.[suara]