Oleh Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum dan Politik Mujahid 212
Sesuai fungsi hakim sebagai alat kontrol hukum dengan mengacu pada pelaku pembunuhan KM 50 yang tidak ditahan, hendaknya juga equal diberikan hak yang sama menangguhkan penahannya terhadap Sdr. Munarman selama proses hukum berjalan di PN Jakrta Timur.
A. Hukum Pidana Formil
Terkait Munarman, JPU harus mendakwa dengan pasal hukuman yang paling ringan oleh sebab Tempus delicti /peristiwa terjadi pada saat pemberlakuan UU. No.15/ 2003 tentang Perpu No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris masih berlaku. Oleh sebab proses yang masih dugaan dan atau dakwaan oleh JPU atas perbuatan yang tempus delicti di tahun 2015 dan Locus delicti-nya di Makasar ?
Mengingat asas-asas hukum pidana UU tidak berlaku surut, tuduhan pada tempus 2015 maka UU yang seharusnya digunakan adalah UU 2003, namun oleh sebab investigasi kasus ini baru pada 2018, maka UU yang terbaru yang mesti digunakan yakni UU No.5 tahun 2018. Sedang Asas hukum pidana menyebutkan apabila ada perubahan pada sebuah sistem perundangan-undangan yang memilki sanksi pidana maka pasal ancaman yang teringan yang digunakan. Sehingga Sdr. Munarman jika pasal UU pada surat dakwaan menggunakan pasal yang ada ternyata lebih berat sanksi hukumannya. Maka eksepsi mesti diterima demi kepastian hukum atau rechtmatigheid.
Jika JPU dalam dakwaannya tidak mengkaitkan kedua asas pertimbangan hukum pidana ini (tempus dan tuntutan perubahan sistem per UU), maka dakwaan kabur demi hukum. Dan terdakwa harus dibebaskan karena cacat yuridis formil sesuai ketentuan beracara atau hukum pidana formil.
Selebihnya mengingat ketentuan atau Asas Hukum Pidana Tidak Boleh Dianalogikan, maka organisasi ISIS mesti jelas disebut pada UU sebagai asas legalitas menunjuk organisasi yang dapat dikenakan sebagai subjek hukum. "Barang siapa orang menjadi anggotanya dan atau pengurusnya diancam hukuman pidana", bukan hanya ciri- ciri sebuah organisasi kekerasan atau radikalis dan atau teroris, hal ini dilarang oleh Asas-Asas Pada Hukum Pidana karena jika sekedar Ciri-Ciri dapat menciptakan penerapan hukum menjadi multi tafsir, sehingga hukum tidak memiliki kepastian hukum atau rechtmatigheid.
Maka adakah kejelasan tercantum asas legalitas tentang organisasi ISIS secara legal formil merupakan organisasi terlarang? Atau sebagai delik makar atau teroris dalam penyebutannya di dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Maka jika ternyata dakwaan tidak memenuhi unsur teori hukum dan atau tidak memenuhi asas hukum /asas legalitas, aktivis pejuang hukum Sdr. Munarman segera dapat bebas melalui EKSEPSI. Karena JPU Obscur libeli dalam dakwaannya atau kabur, tidak jelas salah dalam penggunaan pasal pada dakwaannya maka pihak JPU akan percuma hanya melanjutkan penyiksaan phisik dan psykis. Dan untuk majelis hakim pun hanya memperlambat atau sengaja menyiksa orang yang semestinya sudah mendapatkan kebebasan. Karena jika riil jelas cacat formil terhadap dasar atau asas pasal yang dituduhkan JPU tidak mengena sasaran atau cacat formil, maka apa landasan hukum yang akan digunakan JPU pada tuntutannya kelak, lalu majelis hakim pun sudah mengetahui cacat formil ini, tentu justru seolah membantu menyiksa diri terdakwa Munarman atau para hakim yang seharusnya bekerja secara proporsional, profesional (adil) akuntabel dan kredibel (kepastian) dapat dinilai dan dinyatakan oleh publik dan masyarakat pemerhati penegakan hukum dan keadilan sebagai ikut serta melanggar hak-hak hidup sebagai manusia bebas dan merdeka yang dimiliki Sdr. Munarman atau telah turut mengkondisikan perbuatan pelanggaran HAM terhadap pesakitan yang sudah sekian lama menjalani masa tahanan, padahal nantinya dapat dibuktikan tidak bersalah?
B. Hukum Pidana Materiil
Selanjutnya demi menunggu kepastian hukum vonis, setidaknya jika eksepsi Sdr. munarman ditolak maka pantas mendapat Vonis Vrijjspraak (bebas karena perbuatan delik tidak dapat dibuktikan) atau setidaknya Onslaag jika ditemukan 'perbuatan ada namun Ternyata Bukan Perbuatan Pidana' oleh sebab fakta formil dan materil demi keadilan/ gerehctigheit atau rechmatigheid /demi kepastian hukum dan idealnya oleh sebab materiele waarheid demi kebenaran yang sebenar-benarnya. Adapun dalil hukumnya:
Karena hakim majelis sebenarnya sudah mengetahui alasan notoire feiten terkait berita-berita tentang dinamika hukum yang ada terkait organisasi atau kelompok ISIS di tanah air yang sepatutnya pemberitaan semestinya diikuti oleh para (hakim) penegak hukum dalam beberapa hal :
1. Notoire feiten derogat, serta fiksi hukum (presumptio de iure) terkait pengetahuan umum yang tidak perlu dibuktikan dan bahkan WNI dianggap wajib tahu (fiksi hukum) bahwa Negara Republik Indonesia/ NRI tidak punya hubungan diplomatik dengan ISIS. Dan faktanya ISIS bukan sebuah negara yang sah karena tidak ada pengakuan dari dunia intenasional;
2. Notoire feiten bahwa Munarman adalah aktivis yang dikenal selain sebagai lawyer adalah merupakan aktivis yang suka dan selalu berjuang dengan cara melakukan aksi-aksi atau demonstrasi yang masyarakat umum mengetahui, termasuk di luar para aktivis demo selain Terdakwa sering lakukan aktivitas terbuka/ demo-demo dan kajian ilmiah (seminar hukum), juga dalam setiap aksi demo Terdakwa Munarman tidak menggunakan senjata api, granat dan tidak juga bom. Serta pastinya perbuatan aksi aksi demo ini dilakukan Munarman melalui prosedural yang berlaku sesuai regulasi yang ada.
3. Majelis hakim jika tidak membebaskan pada tahapan putusan sela oleh karena eksepsi para pengacara Terdakwa Munarman, yang kelak bisa jadi akan disuguhkan oleh Terdakwa Sdr. Munarman atau oleh para pengacaranya tentang (berbagai media dan video Youtube yang ada) yang akan dihubungkan dengan hukum positip atau hukum yang mesti berlaku (ius konstitum) terkait peran NRI tentang asas hukum nasional aktif dan Nasional pasif sesuai pasal 4 dan 5 UU No.1 Tahun 1946 tentang KUHP, kenapa tidak diterapkan oleh pihak Polri? Mengapa para anggota ISIS termasuk anggotanya yang WNI tidak dikejar untuk ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku walau dimanapun keberadaan mereka oleh sebab melanggar hukum dan kepentingan hukum NRI? Bahkan bukti dan fakta hukum yang ada adalah pengikut ISIS yang sudah bergabung dengan ISIS di Irak dan Syria ketika minta kembali justru mendapat penolakan oleh Pemerintahan RI. Bagaimana nalar logika dan hukumnya? Seorang atau sekelompok orang pelaku yang bisa dianggap menyerahkan diri namun ditolak, bukan ditahan lalu diadili sesuai hukum yang berlaku . Dan komparatif nya bagaimana seorang Munarman yang tidak punya hubungan berkelanjutan atau tidak dalam struktural dan tidak masiv sejak 2015 terhadap TSK yang atau saksi palsu yang ada di Makassar dapat dinyatakan sebagai delnememing (penyerta pada dader atau doen plager) atau pelaku delik teror di Makassar? Tentu ada mesti ada penggalian hukum yang intensif tentang, apakah ada Sdr. Terdakwa Munarman bukti memerintahkan terhadap TSK pelaku A quo teror di Makasar? Dan atau koordinasi secara masiv atau aktif berkesinambungan terhadap pelaku teror di Makassar?
Untuk memperkuat tambahan kelalaian atau obscur-nya JPU, maka dapat ditambahkan oleh para pengacara Aktivis Muslim Munarman selain ISIS tidak disebut sebagai organisasi teroris di dalam UU. A quo sebagai asas legalitas untuk dapat menghukum; seorang subjek hukum "setiap orang atau barang siapapun".
Setidaknya ketika Majelis Hakim mengetahui asas hukum tentang UU Teroris A quo, dengan fakta hukum dengan pelaksanaan oleh badan peradilan yang sama terhadap para pelaku pembunuhan KM 50 yang tidak ditahan, hendaknya Sdr. Munarman Aktivis Muslim saat eksepsi para pengacara disampaikan dan dibacakan oleh sebab fungsi hakim selain profesi yang mulia juga memiliki hak sebagai control hukum atau menemukan dan membandingkan pelaksanaan atau kebijakan hukum yang semata demi keadilan /gerechtigheit diberikan hak equal serta perasaan manusiawi tentang penangguhan penahanan yang diberikan terhadap para pelaku petugas polri yang menewaskan 6 orang pengawal Habib Rizieq Shihab, yang para pelaku anggota Polri semestinya diberlakukan pasal pemberatan (KUHP pasal 52).
Oleh karena secara hukum semestinya tidak memiliki alasan subjektif untuk ditangguhkan atau diberikan hak tahanan luar oleh sebab pasal pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat pelaksana hukum namun pada prakteknya justru melanggar tupoksinya namun diberikan penangguhan? (*)