GELORA.CO -Kontestasi Pilpres 2019 silam antara Prabowo dan Joko Widodo sempat menimbulkan gesekan hingga perpecahan di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi luka batin bagi seluruh rakyat Indonesia yang berharap pada Pilpres 2024 mendatang tidak terjadi kembali.
Mantan politisi Partai Gerindra, Arief Poyuono menyampaikan, Pilpres 2019 merupakan buah dari adanya Pilpres 2014 yang baru memunculkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (Preshold), namun tidak setinggi sekarang yang mencapai 20 persen suara parlemen atau 25 persen suara sah nasional.
"Kalau kita flashback di 2014, itu kan pilegnya duluan baru pilpres. Nah, akhirnya lahirlah threshold," ujar Arief dalam acara diskusi Total Politik bertemakan 'Haruskah Presiden Indonesia Orang Jawa?', di Jakarta Pusat, Minggu (19/12).
Arief menjelaskan, pada Pilpres 2014 silam, Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat. Padahal kala itu dua tokoh ini diusung hanya empat partai yakni PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura.
Dia melihat, dukungan dari empat partai tersebut membuat suara Jokowi-JK moncer mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa yang kala itu diusung lima partai.
"Lihat 2014, betapa Pak Jokowi dengan Pak JK dikeroyok lho, banyak partai, enggak punya uang, partainya cuman PDI sama Nasdem, PKB, Hanura," tuturnya.
Atas dasar itu, Arief mengatakan hanya kuasa Tuhan yang mampu mengalahkan norma politik maupun ambang batas untuk presiden.
"Tapi dari sisi suarakan cuman beberapa puluh persen, dia cuman 20 persenan. Sedangkan Prabowo itu 70 persen, tapi yang Maha Kuasa kan berkehendak lain, padahal Prabowo juga orang Jawa tapi dia besar di luar negeri, akhirnya yang Maha Kuasa memberikan wahyu-Nya itu kepada Jokowi," ucap Arief.
Dengan membandingkan dua masa perhelatan Pilpres tersebut, Arief menilai kontestasi yang sebenarnya terjadi antara Jokowi dan Prabowo adalah pada tahun politik 2014.
Sementara, pada tahun 2019 kemarin, ada perbedaan yang begitu siginifikan mengenai dukungan dan juga teknis penyelenggaraan Pemilu yang sudah Serentak, di mana pelaksanaannya mengacu pada UU 7/2017 tentang Pemilu yang didalamnya juga mengatur soal presidential threshold 20 persen.
Karena itu, Arief menmbuat sebuah istilah terkait dukungan yang diperoleh baik oleh Jokowi maupun Prabowo pada Pilpres 2019 yang lalu.
"Itu kan (Pilpres 2014) memang yang paling benar dibandingkan pemilu 2019 yang bareng pilpres dan pilegnya. Jadi 2019 itu Pak Jokowi dan Pak Prabowo itu diusung sama orang mati," tandas Arief Poyuono.(RMOL)