GELORA.CO -Video cabai rawit satu pikap dibuang di sungai viral. Kejadian diduga di Bondowoso itu dipicu hasil bertanam cabai yang tak sesuai harapan.
Heri, salah seorang petani cabai di Bondowoso mengatakan bahwa bertani cabai rawit memang bergantung pasar dan kualitas cabai hasil tanamannya. Keduanya saling terikat satu sama lain. Artinya, meski kualitas bagus, belum tentu diikuti harga pasar yang baik atau menguntungkan.
Bahkan, ada ungkapan di kalangan petani cabai. Yakni, jika lagi beruntung untungnya tak seperti bertani cabai. Pun kalau lagi apes, tak seapes menanam tumbuhan berbuah pedas ini.
"Ya begitulah. Tergantung yang di atas sang maha pengatur," kata Heri saat berbincang dengan detikcom, Minggu (14/11/2021).
Kenapa begitu, timpal bapak dua anak ini, karena petani sepenuhnya berserah pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tergantung apakah Tuhan berkenan memberi rezekinya kepada makhluknya utamanya para petani cabai atau tidak.
"Fluktuasinya memang sangat naik turun. Bergantung pasar dan juga hasil yang telah dijadikan ikhtiar," imbuh Heri.
Sebab, kata Heri, kadang petani sudah berusaha sekuat tenaga agar hasilnya baik. Tapi harga di pasaran tetiba melorot pada titik terendah. Maka, tetap harus diterima.
"Tak jarang pula, kualitas sebenarnya tak begitu baik. Tapi harga di pasaran melonjak. Itu cukup membantu. Karena itu tadi. Murni tergantung kehendakNya," terang Heri.
Heri mengungkapkan, petani bisa dibilang akan balik modal jika harga jual cabai di tingkat petani sebesar Rp 7 ribu per kg. Di atas harga itu, berarti untung. Sebaliknya bila harga di bawah itu, maka petani akan merugi.
"Saya pernah, menanam 1 hektare. Karena harga anjlok, akhirnya tak saya panen sama sekali. Saya biarkan saja. Bahkan saya persilakan kalau mau ambil, petik sendiri," imbuhnya.
Sebab akan makin merugi ketika harus mengeluarkan biaya untuk memanen atau memetik. Karena ongkos memetiknya saja seribu per kilogramnya.
"Artinya kalau lagi tak beruntung, sudah jatuh tertimpa tangga pula,' pungkas Heri.(detik)