GELORA.CO -Kebijakan pemerintah yang doyan gonta-ganti dalam menangani pandemi Covid-19 membuat Indonesia dalam kondisi tidak menentu.
Bahkan kebijakan tes PCR yang membebani rakyat diduga diciptakan bagi kepentingan pejabatnya dan oligarki untuk meraup keuntungan.
Hal ini membuat penanganan kasus Covid-19 tak tertangani secara baik, iklim investasi terganggu, dan perbaikan ekonomi melambat. Sementara pejabatnya mengambil rente dari kebijakannya sendiri dengan konco-koconya, dan bukan untuk rakyat.
Menurut Direktur eksekutif Jenggala Center, Syamsuddin Radjab, oligarki adalah penyebab semua kebijakan yang tidak pro rakjat. Pun para elite tengah membajak demokrasi ke arah yang sangat membahayakan masa depan bangsa ini.
Sehingga oligaki tak bisa dibiarkan tumbuh subur di negara ini. Semua pihak, terutama kaum intelektual dan aktivis, harus menyampaikan ide, sudut pandang dan solusi untuk membendung pembajakan demokrasi yang dilakukan para elite negeri ini.
"Itu penting menurut saya, karena suatu ide baik sekalipun kalau dia tidak diperjuangkan akan susah diraih, karena kadang-kadang negara atau pemerintah, mengabaikan atau lalai terhadap tanggungjawabnya untuk membangun negara ini sendiri menjadi negara yang adil, sejahtera, dan makmur.," ujar Syamsuddin Radjab. melalui keterangannya, Minggu (14/11).
"Bahkan cenderung kekuasaanya digunkan untuk mengeksploitasi rakyat, untuk kepentingan pribadi, dan oligarki. Termasuk era sekarang ini, dan ini harus dilawan," tambahnya.
Hal tersebut disampaikan Syamsuddin saat menjadi pembicara tunggal dalam diskusi dengan tema "Aktvis dan Hukum" yang digelar secara virtual, Sabtu (13/11).
Lanjut Syamsuddin, kaum intlektual dan aktivis harus duduk bersama menyamakan persepsi dan mengkosilidasi semua kekuatan, untuk menemukan solusi dalam rangka mengadang pergerakan oligarki tumbuh subur di negara ini.
"Karena itu dunia aktivisme itu adalah dunia gerakan, gerakan untuk menginginkan sesuatu dan dengan ideologi-ideologi yang dia yakini untuk itu dia diwujudkan. Jadi dia masuk dalam kerangka yang sangat idealitas di dalam pikiran yang ingin diwujudkan di dalam kenyataan," tutur mantan Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) dan aktivis HMI ini.
Ditegaskan Syamsuddin, aktivis jangan hanya mengandalkan pergerakan. Pergerakan tidak akan berarti jika tidak diimbangi dengan pengatahuan. Sebab, pergerakan dan pengetahuan sama-sama penting dalam dunia aktivis. (RMOL)