Oleh: Jon Masli*
DENGAN hormat, Salam Sejahtera dan salam sehat selalu Pak Jokowi.
Mohon izin perkenalkan saya Jon Masli, pengamat BUMN, eks relawan Jokowi-Ahok, Pilgub 2012 dan Jokowi-JK pilpres 2014.
Kita sempat berkenalan dan berdialog ria seperti juga ribuan pentolan relawan lainnya selam kampanye. Tapi sejak 2014 kami sekeluarga hijrah bermukim di Los Angeles. Namun tetap mengikuti perkembangan pemerintahan Bapak melalui YouTube dan medsos.
Yang lagi heboh ini kasus Garuda, sampai Pak Prabowo dan Pak Sandi angkat bicara: "Garuda harus diselamatkan". Bukan saja Garuda sebagai national flag carrier tapi Garuda juga penunjang besar industri pariwisata Indonesia.
No Time To Die seperti judul film James Bond terbaru, sosok pakar korporasi Sandiaga Uno bersikap mengingatkan kita kepada si Daniel Craig. Bila Garuda dibangkrutkan, industri pariwisata kita akan terdisrupsi dan wibawa pertahanan nasionalpun tercoreng. Patut diapresiasi sikap kedua tokoh nasional ini.
Kasus Garuda itu lumrah di dunia korporasi. Lihat kasus perusahaan-perusahaan Tbk dunia yang terancam bangkrut seperti Evergrande di China yang beraset 195 miliar dolar AS lagi viral sekarang, Tesla tahun 2017 pernah hampir collapse, Chevrolet juga tahun 2009 dengan aset 82 miliar dolar AS dan utang 173 miliar dolar AS dst. Kok begitu gampangnya orang-orang bilang Garuda dibangkrutkan saja atau diakuisisi Pelita Air yang hanya punya armada dua puluhan pesawat tua berbaling-baling dan helikopter digabung dengan Garuda yang berarmada jet?
Ini konyol dan ngaco, tidak rasional asbun seakan mereka ngomong paling tahu tentang dunia korporasi. Tidak semudah itu karena Garuda sebagai BUMN juga perusahaan Tbk.
Boleh saya memuji Pak Jokowi dan juga memberikan kritik membangun serta solusi tentang pengelolahan BUMN menunjuk video YouTube Bapak berjudul: "Sudah Dibukain Pintu, Tidak Ada Respon".
Pujian pertama, tidaka lagi PMN bagi BUMN-BUMN yang minta disuntik tutup saja. No more bail out suntikan PMN.
Kedua, BUMN harus menjadi perusahaan-perusahaan dunia dengan berpartner dengan perusahaan-perusahaan dunia dengan "cerdik'. Luar biasa hanya berlatar belakang pengusaha meubel, tapi pola berpikirnya corporate restructuring yang profesional.
Ketiga, menempatkan Menteri BUMN yang terbaik dibanding yang sebelumnya. Pujian ini juga patut kita bagikan kepada Pak Erick Thohir berani ambil amanah karena berekam jejak berbisnis internasional. He is your best pick sebagai Menteri BUMN, so far. Dia pengusaha, punya Adaro Energy, mengakuisisi Inter Milan, DC United, pemilik media etc.
Kinerja selama dia diangkat boleh dikata bagus dengan terbongkarnya kasus-kasus megaskandal di BUMN-BUMN seperti Jiwasraya, memecat Direksi Garuda dan merampingkan puluhan usaha-usaha BUMN.
Pujian 1 dan 2 perlu menjadi basis penilaian dalam menyeleksi para CEO/ Dirut. Terutama soal PMN. Nothing wrong dengan bailout pemerintah dengan menyuntik dana PMN, yang menurut data media, DPR telah menyetujui suntikan APBN sebesar Rp106 Triliun dari Kementerian BUMN.
Yang dimaksud kalau eksekutif yang cenderung bergantung pada jurus disuntik PMN, ini indikator dia cengeng mudah nyerah padahal inilah tantangan dari para eksekutif to turn around a company. Suntik modal pemerintah bukan hal yang tidak lumrah dalam bisnis, di AS pun Chevrolet juga dibail out oleh pemerintah Obama, tapi kemudian duitnya dikembalikan. Ini namanya bail out bermartabat.
Tapi kalau diBUMN bail outnya beda, sudah disuntik PMN minta disuntik lagi. Duit itu biasanya tidak pernah dikembalikan, paling juga dimasukkan dipembukuan sebagai pinjaman sementara yang menurut Kepres dapat dikonversi menjadi PNM.
Inilah model BUMN kita yang mana para Direksi dan Komisaris itu terkesan kurang tahu malu dan mumpuni, minta di PMN (Maaf tidak semuanya). Demikian juga kompetensi membawa BUMN menjadi perusahaan dunia, Dirut atau CEO itu berperan besar sekali dan utama.
Menjadi perusahaan dunia ini tantangan besar dan wajib mengingat trend globalisasi dan keinginan bapak. Apakah sudah siap BUMN kita go international, pada hal kebanyakan masih jago kandang, contoh Garuda sudah diberi fasilitas negara sebagai BUMN dan sudah Tbk sejak 2011, jadi seharusnya sudah jadi world class company.
Kasusnya yang lagi ramai adalah model permasalahan umum ciri khas BUMN, hampir sama disemua BUMN-BUMN, yaitu Masalah kualitas kompetensi direksi dan komisaris. Terancamnya kondisi keuangan Garuda bukan hanya masalah kontrak leasing "mark up" seperti pengakuan Pak Peter Gontha. Tidak sesederhana itu, kita harus melihat secara komperhensif korporasi.
Betul kontrak leasing itu adalah komponen besar dari sekian faktor-faktor penentu kinerja management oprasional lain-lainnya. Tapi jangan menelantarkan faktor-faktor relevan lain, seperti kualitas direksi, komisaris yang dipasang, corporate financing strategy, efisiensi pengoperasian, strategi bisnis pendapatan, promosi yang jor-joran tidak tepat sasaran, sistim pengendalian dan kontrol, dll yang kesemuanya ikut berkontribusi sukses atau gagalnya mengoperasikan sebuah perusahaan.
Namun dari kesemua ini, yang kita ingin kita sorot, adalah faktor kunci kualitas SDM yang merupakan komponen penentu utama keberhasilan sebuah perusahaan. Mengapa demikian? Karena merekalah yang dapat mengendalikan Good Corporate Governance yang professional atas faktor-faktor komponen management dan operasinal tadi.
Ada pepatah yang mirip dengan kutipan ayat di Alkitab maupun Al Quran. Bunyinya begini: “Apa yang kamu tanam, itulah yang akan dituai”.
Kasus Garuda adalah konsekuensi dari apa yang ditanam, itulah yang dituai. Kejadian merosotnya kinerja Garuda sudah terdeteksi sejak 6 hingga 7 tahun terakhir bahkan sebelum dan setelah euphoria Go Public-nya sejak 2011 dari zaman menteri-menteri BUMN sebelum Erick Thohir, di mana kebanyakan para direksi dan komisaris yang dipasang biasanya dekat dengan penguasa/ presiden ataupun menteri BUMN atau partai-partai politik pendukung.
Perkenankan saya memberikan 3 kritik membangun dalam kaitan ini dan tentunya disertai dengan 4 usulan solusi bukan asal mengkritik.
1. Seleksi Pejabat BUMN
Perekrutan para Direksi dan Komisaris di BUMN dari dulu sebenarnya sudah ada acuan yang baik. Tapi dari berita dan data yang beredar di media masa, memberi kesan sepertinya Pak Jokowi terlalu bermurah hati memberikan jabatan-jabatan level Direksi dan Komisaris di BUMN kepada para relawan dan petinggi-petinggi partai pendukung.
Termasuk komentar-komentar netizen yang ramai mengkritik bahwa kebijakan ini paradoks dengan janji-janji kampanye Bapak yang kerap mengumandangkan nilai-nilai revolusi mental, Sebenarnya ini adalah hak prerogatif dan subjektivitas presiden, asal mereka yang direkrut dan ditempatkan betul-betul kompeten mumpuni.
2. Rangkap Jabatan Pejabat
Pejabat-pajabat yang rangkap jabatan cukup banyak. Mereka yang sudah jadi pejabat di kementerian, pengurus parpol, bahkan di perusahaan-perusahaan swasta juga diangkat jadi pejabat-pejabat BUMN.
Tadinya berita seperti asap ini diharapkan tidak semuanya benar. Namun, ketika dicek di media masa, ada 17 orang relawan Bapak yang diangkat menjadi komisaris dan merangkap jabatan diberbagai BUMN. Seperti rangkap jabatan rektor UI Ari Kuncoro di BRI sebagai Komisaris.
Lebih mengenaskan lagi, ada temuan KPPU yang mengatakan ada 62 pejabat Direksi & Komisaris BUMN di 3 sektor industri Pertambangan, Keuangan dan Konstruksi yang merangkap jabatan. Semoga datanya tidak akurat, namun menurut pengakuan KPPU masih akan didata lagi.
Kedua masalah besar inilah yang menjadi akar dari permasalahan kinerja kualitas tata kelola BUMN yang polanya dari dulu dari satu menteri ke menteri lainnya, mirip hampir sama. Belum lagi dengan masalah akhlak mereka yang sudah menjadi rahasia umum sehingga terjadilah skandal keuangan/ mega korupsi membuat BUMN merugi jadi sapi perahan.
3. Jebolnya Sistem Pengendalian dan Pengawasan
Kejadian-kejadian kasus mega korupsi triliunan rupiah yang terungkap di BUMN selama ini hendaknya menyadarkan kita, bahwa telah terjadi merosotnya kualitas pengendalian dan pengawasan yang berada di tangan para komisaris yang dipasang.
Peran komisaris-komisaris yang dipasang tidak terberdaya/ berfungsi/ berperan seperti yang diharapkan. Masyarakat melihat komisaris-komisaris terkesan sebagai eksekutif pajangan, terutama ketika mereka melihat mantan-mantan petinggi pejabat negara, bahkan ada tokoh masyarakat, sekarang bertambah lagi dengan relawan, politikus dari partai yang berkuasa duduk memangku jabatan-jabatan komisaris enak-enak terima gaji bulanan yang besar, tapi bekerja dengan kompetensi dan profesional yang minim karena mungkin belum memahami apa itu fungsi dan tanggung jawab komisaris.
Sebenarnya ini sah-sah saja, tapi sayang banyak komisaris yang tidak paham fungsi dan tanggung jawabnya sebagai komisaris yang amat pernting itu. Atau mungkin mereka pura-pura kurang paham?
Kasus Garuda ini contoh konkrit konsekuensi tuaian dari ketiga kritikan membangun tersebut yang saling terkait. Coba apa yang kurang dengan Garuda? Ia adalah flag carrier national, perusahaan BUMN paling elit, sudah Go Public, para direksi dan komisaris yang ditempatkan boleh dibilang top notch executives, ada diantara mereka itu tokoh-tokoh korporasi kondang yang top, tapi ada yang merangkap jabatan eksekutif teras perusahaan-perusahaan swasta.
Kok kontrak leasing pesawat-pesawat Garuda yang dibuat sangat merugikan Garuda pun tidak terdeteksi oleh para komisaris-komisaris jagoan tadi? (sumber dari staff BUMN di Youtube).
Sangat tidak tepat kalau Garuda dibangkrutkan hanya karena alasan ini. Coba kita bercermin kepada maskapai-maskapai penerbangan negara tetangga kita seperti Vietnam Airlines, Malaysian, Thai, dan Philippines Airlines yang juga mengalami badai Covid. Mereka masih bertahan dan terbang. Perlukah Garuda disuntik lagi sementara duit APBN lagi minim karena kondisi ekonomi yang terdampak oleh pandemi membuat penerimaan pajak tersendat, alokasi dana APBN kesedot ke penanggulanan Covid, pembangunan Ibu Kota baru dan Kereta Api Cepat.
Dari ketiga kritik membangun itu, boleh saya usulkan agar Kementerian BUMN mempertimbangkan 4 langkah solusi (yang mungkin sudah berada dalam benak pemikiran Pak Erick Thohir yang profesional itu) sebagai berikut:
I. Selamatkan Garuda dengan mengeluarkan Sovereign Bond, dalam denominasi rupiah atau dolar AS tanpa harus menguras dana APBN sembari melakukan restrukturisasi utang yang sampai Rp 70 triliun itu terutama dengan menegosiasi dan mereschedule hutang kepada para lessor dengan menyadarkan mereka tentang kontrak-kontrak leasing pesawat yang bernuansa mark up KKN yang berpotensi melanggar potensi UU European Corruption Act, mirip dengan kasus Rolls Royce yang masih segar diingatan kita sampai pabrik RR didenda puluhan juta Euro sampai Emirsyah Satar masuk bui.
Utang-utang dalam negeri yang juga komponen besar kepada Pertamina dan bank-bank plat merah dilakukan upaya yang sama, misalnya dengan jaminan convertible bonds yang dalam pembukuan akan sangat membantu memperbaiki kesehatan keuangan Garuda. Lobbylah United Airline, China Southern, Lufthansa, dll yang punya network luas dengan pola KSO bagi hasil sehingga dapat meningkatkan pendapatan dan menggapai turis-turis wisman dan armada dapat dikurangi.
II. Evaluasi kinerja dan sistem seleksi direksi dan komisaris. Segera lakukan Evaluasi Intensif Kinerja dan Sistem Rekrutmen terhadap mereka (pasti Pak Erick sudah atau lagi lakukan) dan menyeleksi ketat para calon yang lagi pada “ngantri” sebelum "membagi" jabatan kepada mereka.
Bukankah pada zaman Pak Tanri Abeng sudah ada pedoman yang baku tertulis diundang-undang BUMN tentang tata laksana penyeleksian Direksi dan Komisaris. Termasuk proses sampai Tim Penilai Akhir. Kalau memakai analogi, Kementerian BUMN adalah seperti sebuah tim Management mobil balap Ferrari Formula1 diarena Grand Prix yang mengelola pembalap-pembalap yang mempunyai dukungan tim manajemen dan teknisi yang berkompeten.
Jadi tugas Kementerian BUMN adalah merekrut pembalap-pembalap Formula1 berkelas seperti Michael Schumacher atau Ayrton Senna, bukan supir-supir kelas mobil angkutan Metro Mini. Betul banyak dari dirut-dirut atau CEO-CEO mempunyai sederetan gelar Professor/ PhD, MBA, MSc, Ir, Drs/ Dra dan gelar-gelar perguruan tinggi segala, "tapi ngomong Inggris saja tidak bisa" (kata Almarhum Prof. J.E Sahetapy yang berkomentar tentang pejabat disalah satu acara ILC).
Bagaimana bisa percaya diri melobby eksekutif-eksekutif perusahaan dunia untuk berpartner agar BUMN Go International? BUMN-BUMN yang sudah Go Public pun masih belum bisa dikatakan kelas dunia seperti Telkom, BRI, Mandiri yang beraset miliaran dolar AS.
Khusus posisi Komisaris, perlu diberikan peringatan keras dan introspeksi bahwa mereka bukan hanya pajangan petenteng-petenteng belaka, makan gaji buta berlimpah tiap bulan, merasa aman terjamin karena merasa dekat dengan penguasa. Apalagi mereka yang KW3 itu, kalau tidak perform, ganti saja, umumnya mereka kurang malunya.
Wong aset nasional deperti Komisaris top kelas ori yang berdaya guna seperti Pak Peter Gontha, ahli korporasi terhormat, pelobby bisnis fasih 4 bahasa dapat diganti di Garuda. Juga Dindo Refly Harun, wong Palembang Ahli Hukum, narsum top ILC, lulusan University of Notre Dame dan UI, diberhentikan dari Pelindo I.
Fungsi dan tanggung jawab Komisaris itu penting karena mereka mengawasi performance para Direksi dan menasehati mereka, terutama mengendalikan RKAP dan RJPP perusahaan. Bagaimana BUMN itu bisa meraih prestasi jika orang-orang yang dipasang kurang kompeten menjadi Komisaris di BUMN. Apalagi mereka yang berekam jejak akhlak yang kurang baik.
Banyak orang Indonesia yang mumpuni dan paham korporasi, ada juga yang lagi bekerja dimanca negara, tapi belum tentu mereka mau bergabung dengan BUMN. Apakah Kementerian BUMN tahu akan hal ini. Tentu pasti sudah, menurut pengakuan jubir Kementerian BUMN Pak Arya Sinulingga.
Tapi pada kenyataannya tetap saja banyak pejabat BUMN yang direkrut karena dekat dengan penguasa dan partai politik besar. Sementara ada banyak profesional WNI yang kompeten dan berahlak baik, mampu berkomunikasi dalam Bahasa Inggris, bahkan Bahasa Mandarin, Korea dan Jepang serta mempunyai latar belakang korporasi yang ada di Indonesia dan diluar negeri sana.
Tapi mereka mungkin belum berkesempatan, atau kurang tertarik apalagi kalau ada syarat harus membayar “arranger/ recruitment fee” yang seharga mobil Ferrari untuk calo-calo rekrutmen pejabat BUMN.
Kebetulan 6 tahun yang lalu, saya sendiri mengalaminya. Jangankan rekrutment fee untuk calo-calo yang ngaku dekat dengan penguasa, kirim proposal saja dimintai fee "ongkos jalan". Masih adakah modus begini? Wallahu alam bishawab. Sehingga mereka memilih untuk bekerja di perusahaan-perusahaan swasta.
Demikian juga alternatif merekrut profesional muda Indonesia (seperti Cinta Laura) lulusan luar negeri maupun dalam negeri yang bukan saja dapat berbahasa asing dengan fasih, mereka juga mumpuni untuk dididik menjadi future leaders sebagai bibit-bibit baru untuk calon pengganti pejabat-pejabat senior di BUMN dengan Executive Development Program.
Usulan lain yang agak ekstrim, adalah bila perlu merekrut orang asing dengan cerdik, artinya untuk posisi-posisi tertentu dengan target menembus pasar atau target lainnya. Seperti yang dilakukan Tiongkok ketika 20 tahunan lalu membuka pintu ke perusahaan-perusahaan Fortune 500 dari Amerika untuk mengejar ketinggalan dimana BUMN Tiongkok berKSO bahkan joint venture dengan cerdiknya memanfaatkan teknologi dan modal merek.
Walau posisi-posisi kunci itu dipasang orang asing yang kompeten, kemudian produk-produk yang dibuat di China diekspor ke AS dan Eropa oleh eksekutif-eksekutif asing itu. Ini proven market practice yang sudah berlanjut lama.
III. Hapus Rangkap Jabatan. Menghapus Praktek Rangkap Jabatan Komisaris/ Direksi BUMN oleh para pejabat kementerian, pemerintahan lain atau pengurus partai politik yang lagi aktif. Inilah permasalahan GCG yang mengakibatkan berbagai benturan kepentingan yang ujung-ujungnya merugikan BUMN.
Praktik ini juga terkesan menunjukan arogansi kekuasaan seakan-akan tidak ada lagi anak-anak bangsa yang mumpuni. Hal ini menjadi gunjingan masyarakat yang terus berlanjut. Mantan-mantan pejabat yang sudah pensiun pun kerap kali merangkap jabatan-jabatan menutup peluang anak-anak bangsa generasi penerus yang mumpuni. Jelas paradoks dengan janji kampanye Bapak tentang pengembangan SDM yang berkualitas dan bermartabat.
IV. Pengawasan Melekat. Memperketat Pengawasan Pengendalian (Monitoring and Control) adalah faktor yang mengakibatkan tindakan korupsi pada umumnya karena lemahnya implementasi pelaksanaan pengawasan pengendalian, berangkat dari penempatan komisaris-komisaris KW dua atau tiga yang kurang kompeten.
Padahal BUMN sudah punya sistem rekrutmen, pengendalian Internal dan Good Corporate Governance (GCG) ethics yang diterapkan sejak zaman Pak Tanri Abeng lengkap dengan pengawasan dari BPKP, sekarang ada KPK lagi.
Pada kenyataannaya istilah GCG hanyalah retorika belaka, jujur banyak pejabat yang ngaku paham atau pura-pura tidak paham, apalagi istilah Conflict of Interest. Seperti banyak pejabat-pejabat juga ikut berbisnis, lebih konyol lagi mereka yang membuat kebijakan pula. Action plan solusi ini amat bergantung dengan tindak lanjut diusulan solusi romawi II dan III tadi, karena ini adalah masalah manusia/ eksekutif yang ditempatkan!
Konklusi
Put the right professional in the right place. Bukan put all my (president's) men! Bukankah itu semangat dari konsep Revolusi Mental yang Bapak pernah cetuskan pada tahun 2014 dengan Istilah Revolusi Mental dan juga Nawacita yang sempat trending topik. Topik ini kembali tamai akhir-akhir ini di medsos ketika netizen-netizen mulai marak membicarakan janji-janji kampanye Bapak yang terkesan paradoks dengan praktik-praktik di lapangan, terutama konteks niat pembenahan SDM di kalangan pemerintahan, menggenjot kinerja BUMN.
Masyarakat tentu berharap agar kinerja BUMN membaik sehingga misi ekonomi dan sosialnya berdampak untuk rakyat. Bapak masih mempunyai waktu 3 (tiga) tahun lagi untuk melakukan tindakan-tindakan koreksi meninggalkan Legacy.
Kami ini pakar-pakar praktisi korporasi senior, yang tahu diri, tidak berambisi menjabat di BUMN. Seperti mantan pemain sepak bola, kami duduk nonton ditribun menyemangati generasi muda penerus kita agar BUMN2 sukses berperan mensejahterakan rakyat dengan misi ekonomi dan sosialnya.
Kami juga mendoakan semoga Bapak sadar untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan tata kelola BUMN yang berpotensi merugikan rakyat selama ini. Cukup sudah kita menanggung aib puluhan mega korupsi-korupsi BUMN seperti Garuda. Kami yakin Pak Erick Thohir akan mampu menyelamatkan Garuda given his profesioal capacity.
Dunia menyoroti Indonesia yang 269 juta WNI banggakan selalu. Apalagi sekarang, Bapak sudah menerima tongkat Kepemimpinan G20 yang amat bergengsi dari Perdana Menteri Italia. Semoga masukan ini dapat berguna menjadi perhatian Bapak Presiden dan Bapak Menteri BUMN.
Terima kasih banyak atas kesempatan melayangkan surat terbuka ini.
Hormat dari saya, Jon Arif Masli.
*(Penulis adalah pengamat BUMN yang sedang tinggal di Los Angeles, Amerika Serikat)