Oleh: Miftakur Rahmat*
SELAMA ini, pemerintahan Jokowi selalu membangga-banggakan capaian proyek infrastruktur. Salah satu proyek andalannya yakni pembangunan jalan tol.
Menurut data, sepanjang 2015 hingga 2020 Jokowi telah membangun jalan tol sepanjang 1.544 km. Bahkan pada tahun 2021 ini, ada 19 ruas tol akan diselesaikan dengan panjang mencapai 406 km.
Selain jalan tol, sejumlah infrastruktur lainnya seperti jalan nasional, jembatan, waduk, bandara, pelabuhan, kereta api dan yang lainnya, juga digeber Jokowi. Satu lagi proyek ambisius yang sedang dikerjakan Jokowi yakni ibu kota negara baru yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur.
Melihat data di atas bisa disimpulkan prestasi Jokowi di bidang infrastruktur sudah tidak diragukan lagi. Namun, capaian tersebut bisa rusak bila Jokowi gagal menyelamatkan maskapai kebanggaan nasional Garuda Indonesia. Nila setitik akan merusak susu sebelanga. Kebangkrutan Garuda Indonesia akan mengubur prestasi di bidang infrastruktur.
Legasi yang kemudian diingat adalah bahwa di era Jokowi lah maskapai kebanggaan bangsa dan rakyat Indonesia, Garuda Indonesia, menjadi bangkrut.
Hingga saat ini pemerintahan Jokowi tampaknya belum memiliki solusi mengatasi kesulitan Garuda Indonesia. Sebagaimana diketahui, Garuda Indonesia terancam bangkrut karena terlilit utang sebesar Rp 98,79 triliun yang terdiri dari utang jangka pendek Rp 32,51 triliun dan utang jangka panjang sebesar Rp 66,28 triliun.
Pada tahun 2020, pemerintah bersama DPR telah menyetujui skema dana talangan kepada Garuda Indonesia berbentuk mandatory convertible bond (MCB) alias surat utang yang wajib dikonversi ke saham senilai Rp 8,5 triliun.
Namun tampaknya hal tersebut belum mampu menyelamatkan Garuda Indonesia dari kebangkrutan. Ancaman kebangkrutan Garuda Indonesia makin menguat seiring makin banyaknya gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) yang bisa berujung status pailit.
Sejauh ini sudah terjadi PHK hingga pengembalian pesawat pada lessor. Bahkan, Pelita Air sudah digadang-gadang menjadi maskapai pengganti.
Di tengah kebuntuan, tokoh nasional Dr. Rizal Ramli muncul menawarkan solusi. Dirinya siap menyelamatkan Garuda Indonesia tanpa imbalan materi ataupun jabatan. Ia hanya meminta "imbalan" penghapusan Presidential Threshold (batasan pencalonan presiden).
DR. Rizal Ramli sangat yakin mampu mengatasi kesulitan Garuda Indonesia. Pada 2001, ia pernah menyelamatkan Garuda Indonesia yang dibuat bangkrut oleh kreditor.
Pada 2015, ia sudah meramalkan kebangkrutan Garuda Indonesia karena kebijakan membeli pesawat long haul, yaitu pesawat yang bisa langsung ke Amerika dan Eropa. Menurutnya, Garuda akan kesulitan bersaing dengan maskapai raksasa dari Timur Tengah.
Sayangnya pada waktu itu pendapatnya tidak diindahkan oleh Presiden Jokowi. Prediksi tersebut kini terbukti kebenarannya, Garuda Indonesia di ambang kebangkrutan.
Penyelamatan maskapai penerbangan nasional Garuda Indonesia tidak bisa ditunda-tunda lagi. Untuk itu, Perhimpunan Masyarakat Madani (PRIMA), mendesak :
1. Presiden Joko Widodo segera menerima tawaran Dr. Rizal Ramli untuk menyelamatkan maskapai nasional Garuda Indonesia. Penyelamatan Garuda Indonesia juga akan menyelamatkan reputasi Presiden Jokowi. Jika Garuda Indonesia gagal diselamatkan, maka reputasi Jokowi juga akan terdegradasi bersama kebangkrutan Garuda Indonesia.
2. Adapun atas permintaan "imbalan" penghapusan Presidential Threshold, Presiden Jokowi segera mengajukan Revisi UU Pemilu No 7 Tahun 2017 kepada DPR agar bisa dibahas pada tahun 2022. Reputasi Presiden Jokowi yang berhasil meloloskan Perpu Corona, UU Cipta Kerja dan UU HPP dalam waktu yang singkat juga diyakini akan mampu meloloskan Revisi UU Pemilu secara cepat pula, sehingga tidak mengganggu persiapan pelaksanaan Pemilu 2024.
Jika tawaran DR. Rizal Ramli diterima oleh Presiden Jokowi, maka sekali dayung dua tiga pulau terlampui. Selain Garuda Indonesia terselamatkan, Jokowi pun akan dikenang meninggalkan legacy penegakan demokrasi.
Tanpa batas Presidential Threshold, rakyat akan disuguhi banyak kandidat calon presiden. Sehingga tidak berlebihan bila Jokowi akan dikenang sebagai Bapak Demokrasi.
*(Penulis adalah Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima)