Presiden Sepatutnya Turun Tangan Terkait Upah Tahun 2022

Presiden Sepatutnya Turun Tangan Terkait Upah Tahun 2022

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


Oleh: Ilhamsyah
Masalah upah tahun 2022 menjadi isu hangat di kalangan pekerja dalam beberapa bulan terakhir. 

Sejalan dengan mulai diterapkannya Undang-undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, penetapan upah tahun 2022 menimbulkan polemik. 

Polemik ini melibatkan serikat pekerja, pengusaha dan berbagai pelaku ekonomi di Indonesia. Demonstrasi di berbagai daerah dihelat oleh berbagai serikat pekerja, mendesakkan besaran upah untuk tahun 2022. 

Berkait dengan isu tersebut, Ilhamsyah, Ketua Umum KPBI dan juga Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Buruh memberikan pandangannya. Pria yang akrab disapa Boing ini menuturkan pokok-pokok pikirannya mengenai upah. Berikut hasil wawancara dengan Boing di kantor KPBI di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur.
 
Tanya : Hallo Bung Ilham. Bagaimana kabarnya? Sehat?
Ilhamsyah: Alhamdulillah. Sehat selalu.

Tanya :  Kabarnya sekarang sedang sibuk di Partai Buruh ya?
Ilhamsyah: Benar sekali. Kesibukan di partai, pada prinsipnya adalah kelanjutan dari  perjuangan. Metode yang memang dibutuhkan dan harus dilengkapi. Itu bukan masalah yang dikotomis. Sesuatu yang sesungguhnya malah selaras. Partai Buruh adalah partai kelas pekerja. Kami telah sekian tahun bekerja di organisasi gerakan rakyat. Sekarang perkakas juangnya bertambah melalui Partai Buruh.
 
Tanya: Baik, Bung. Tapi kali ini kita tak akan bicara mengenai Partai Buruh secara spesifik. Saya butuh pendapat Anda mengenai upah.

Ilhamsyah: Pertama saya mesti ingatkan. Pekerjaan dan penghidupan yang layak adalah amanat konstitusi. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menuliskan pesan yang jelas, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.” Jika Anda bicara tentang penghidupan yang layak sebagai pekerja, Anda tidak bisa memisahkannya dengan besaran upah. Itu bukan sesuatu yang debatable lagi. Negara harus memegang dulu prinsip konstitusional ini.

Kedua, saya mau bilang begini. Dari waktu ke waktu, sistem pengupahan kita terus mengalami penurunan kualitas. Secara historis kita bisa lihat, pada tahun 1979 disitu mengatur tentang Upah Minimum Regional (UMR). UMR pada masa itu diklasifikasikan dalam dua tingkat. UMR tingkat pertama dan tingkat kedua. Di dalam komponen upah untuk pengeluaran buruh itu, dijelaskan ada gaji pokok, ya, ada kategori K1, K2 dan seterusnya. Di situ dibedakan antara buruh yang belum berkeluarga, punya anak satu, dua dan seterusnya. Jelas disini, upah ditempatkan sebagai elemen pemenuhan kebutuhan hidup pekerja dan keluarga. Situasinya berganti seiring waktu. Makin buruk sejak Peraturan Pemerintah No.78/2015, lebih-lebih sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.

Tanya: Upah tentu akan berkait langsung dengan pembentukan daya beli masyarakat. Sesuatu yang sangat terhubung dengan pertumbuhan ekonomi. Anda punya komentar mengenai ini?


Ilhamsyah : Benar sekali. Persis di poin itu yang mau saya jelaskan. Kita tidak bisa berharap pemulihan ekonomi pasca pandemi berlangsung cepat, bila daya beli masyarakat tidak terkatrol naik. Kita tahu belanja rumah tangga menyumbang 56% Produk Domestik Bruto. Bagaimana bisa ada belanja rumah tangga yang naik pesat, sementara uang yang dikantongi kelas pekerja Indonesia pas-pas-an. Ada sekitar 52,92 juta pekerja formal yang hidup dari upah di Indonesia. Belum lagi di sektor pertanian. Mereka ini yang akan membentuk tingkat konsumsi nasional. Bagaimana bisa konsumsi melonjak dan pemulihan ekonomi berjalan, tanpa peningkatan upah yang signifikan? Negara harus melihat itu.

Tanya: Mengenai kesenjangan atau disparitas upah antar daerah, apa pendapat Anda?

Ilhamsyah: Saya contohkan di kampung saya ya. Upah buruh tani masih ada di kisaran Rp.90.000/hari. Sementara UMK di Payakumbuh ada di rentang 2,4 juta Rupiah. Ini akan bertambah besar kesenjangannya bila kita bandingkan dengan daerah-daerah industri besar. Apalagi kalau kita melihat daerah yang sangat tertinggal sekali upahnya, seperti Yogyakarta. Apabila upah bisa kita dorong kenaikkan signifikan secara nasional, itu akan memperbaiki kesejahteraan rakyat.

Sebagai bagian dari Partai Buruh, saya mau bilang. Perjuangan perbaikan upah bukan saja mencakup buruh-buruh di Jakarta, Bekasi atau Surabaya semisal. Daerah-daerah yang gerakan buruhnya mungkin relatif lebih kuat. Ini sesungguhnya adalah perjuangan kelas pekerja di seluruh Indonesia. Ini mencakup saudara-saudari kita yang pergi ke ladang sebagai buruh tani. Ini juga mencakup saudara-saudari kita yang masih dibayar murah di Sleman, Yogyakarta. Gerakan kelas pekerja bertanggung jawab atas itu semua. Tidak boleh hanya memikirkan nasibnya sendiri, berdasarkan wilayahnya masing-masing.
 
Tanya: Apa gambaran yang lebih besar mengenai masalah itu?
Ilhamsyah: Di Indonesia belum ada sistem pengupahan nasional yang mampu menjawab masalah genting yang saya bilang tadi. Kekuatan politik yang ada dan mapan dalam perpolitikan nasional, absen membicarakan dan memperjuangkan masalah itu. Kita maklum, sebuah penelitian menyebut 6 dari 10 anggota parlemen adalah pengusaha. Mereka tak berkepentingan untuk memperjuangkan nasib kelas pekerja. Yang saya mau bilang adalah, kita butuh Undang-Undang Pengupahan. Sebuah Undang-Undang yang berkeadilan. Ini salah satu alasan mengapa Partai Buruh berdiri. Partai Buruh akan mendorong sebuah sistem baru dimana kelas pekerja tidak lagi tersekat-sekat dalam teritorinya. Sesuatu yang sebetulnya juga merugikan. Karena ada isu relokasi yang bisa menghantam mereka, kapan saja. Kita seharusnya menyatu sebagai sebuah kelas: kelas pekerja. We are the working class!

Tanya: Terakhir, terkait situasi terbaru dan polemik upah tahun 2022 apa yang mau Anda katakan?

Ilhamsyah: Dengan keluarnya Undang-Undang Cipta Kerja dan PP 36, serta surat edaran yang terakhir, kita melihat aliansi-aliansi yang ada masih bergerak per wilayah, per kota. Tuntutannya pun masih ditujukan ke Bupati, ke Kepala Daerah masing-masing. Setelah ini pasti akan bergerak sesuai sektornya, terkait upah sektoral. Kita ini dibuat terpisah-pisah,  tercerai-berai. Berjuang sendiri-sendiri. Padahal kepentingan kita sama sebagai kelas pekerja. Kita seharusnya tidak berjuang hanya untuk kota kita, provinsi kita, sektor kita. Kita berjuang untuk keseluruhan kelas pekerja. Dari mereka yang bekerja di ladang, pabrik, garasi, sampai yang melayani di Indomart.

Apa yang harus kita lakukan? Kita harus menyatukan isu upah ini sebagai perjuangan nasional. Agar ada kepastian kenaikkan upah secara nasional. Tidak ada daerah-daerah yang tertinggal dan upahnya tidak naik. Formula upah tahun 2022 dari Menteri Ketenagakerjaan itu bermasalah. Kami tidak bisa bersepakat dengan itu. Lalu siapa yang memiliki kewenangan dan seharusnya bertindak dalam masalah ini? Saya kira orangnya hanya satu, yaitu Kepala Negara. Kalau Bapak Jokowi peduli pada nasib rakyat. Kalau Bapak Jokowi memiliki cinta kasih kepada kelas pekerja yang nasibnya terpuruk selama dua tahun belakangan. Maka sepatutnya Bapak Jokowi ikut turun tangan. Bapak Jokowi kiranya mau mengeluarkan Kepres terkait kenaikan upah secara nasional. Keberanian dan kebijakan presiden akan menghadirkan senyum di tengah kelas pekerja yang belakangan kehidupannya semakin berat akibat terjangan pandemi.

*(Penulis adalah Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita