Permendikbud PPKS Dinilai Legalkan Z*na, Komisi X Minta Nadiem Segera Revisi

Permendikbud PPKS Dinilai Legalkan Z*na, Komisi X Minta Nadiem Segera Revisi

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO -Permendikbud-Ristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) menuai polemik lantaran dinilai melegalkan seks bebas. 

Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda meminta agar Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim merevisi terbatas beberapa substansi permendikbud tersebut.

"Tidak ada salahnya Mas Nadiem merevisi terbatas Permendikbud ini secara cepat untuk lebih menegaskan norma konsensual agar mempunyai kekuatan yang lebih mengikat, sehingga siapa saja yang hendak melakukan hubungan seksual bisa dicegah," kata Syaiful saat dihubungi, Senin (8/11/2021) malam.

Syaiful mengakui memang ada definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud 30/2021 yang bisa memicu multitafsir. Kendati demikian, menurutnya definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud ini harus lebih tegas lagi, terlebih norma konsesual yang menjadi factor dominan untuk menilai terjadi atau tidaknya kekerasan seksual.


"Persetujuan dua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual harus ditautkan dalam aturan resmi, baik secara norma hukum negara, maupun agama, sehingga kekuatan hukum yang mengikat. Jangan sampai persetujuan itu dikembalikan kepada masing-masing individu karena bisa jadi saat menyatakan konsesual hal itu tidak benar-benar menjadi konsesus," ucapnya.

Meski begitu, Politisi PKB ini meminta agar semua pihak melihat semangat di balik pembentukan Permendikbud 30 tahun 2021 ini. Dia menyebut sejatinya Permendikbud ini dibuat agar mencegah terjadinya lebih banyak korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, khususnya kampus.


"Lahirnya Permendikbud 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus harus dilihat dari bagian upaya untuk mencegah lebih banyaknya korban kekerasan seksual. Harus diakui jika saat ini banyak sekali korban kekerasan seksual di lingkungan kampus yang membutuhkan perlindungan hukum," ujarnya.

"Untuk pencegahan kekerasan seksual misalnya dalam Permendikbud 30/2021 cukup detail diatur pembatasan pertemuan civitas akademika secara individu di luar area kampus maupun di luar jam operasional kampus. Bahkan jika ada pertemuan tersebut harus ada izin dari pejabat kampus dalam hal ini ketua jurusan atau ketua program studi," lanjutnya.

Lebih lanjut, Syaiful mengungkapkan dibentuknya Permendikbud ini juga lantaran tren kekerasan seksual di kampus-kampus di Indonesia juga terus menunjukkan peningkatan. 

Ironisnya, kata dia, kekerasan seksual tersebut tidak hanya terjadi di antara mahasiswa tetapi juga kerap dilakukan oleh oknum dosen maupun karyawan kampus.

"Data kekerasan kampus yang berhasil direcord terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota. Kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih tinggi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan karena korban merasa malu atau karena factor lain. Sedangkan secara umum korban kekerasan seksual berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan dari tahun 2017-2019, kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 17.940 yang artinya terdapat 16 korban mengalami kekerasan seksual setiap harinya," tuturnya.

Tanggapan Kemendikbud atas Kritik terkait Pemendikbudristek
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) sebelumnya juga menilai Peraturan Menteri Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) melegalkan seks bebas. Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Pendidikan Tinggi (Kemendikbud-Ristek) mengklarifikasi, Permen PPKS tidak mengandung pelegalan seks bebas.

"Sama sekali tidak ada niat seperti itu," kata Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud-Ristek Nizam kepada detikcom, Sabtu (6/11/2021).

Berikut tanggapan Kemendikbud atas kritik terhadap Permendikbud tersebut:

1. Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS) mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur secara spesifik sehingga menyebabkan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi selama ini tidak tertangani sebagaimana mestinya.

2. Dampak kerugian fisik dan mental bagi korban kekerasan seksual menjadikan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi tidak optimal dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi. Sudah sepatutnya kekerasan seksual tidak terjadi, apalagi di lingkungan pendidikan.

3. Karenanya, menjadi kewenangan Kemendikbudristek untuk mengatur setidaknya sanksi administratif terhadap pelaku kekerasan seksual di perguruan tinggi. Sanksi punitif lainnya telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pengingat Permen PPKS.

4. Substansi Permen PPKS sejalan dengan tujuan pendidikan yang diatur dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia. Kekerasan seksual merupakan salah satu penghalang tercapainya tujuan pendidikan tersebut.

5. Permen PPKS disusun dengan mengingat adanya 10 peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya di mata hukum, serta telah melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.(detik)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita