GELORA.CO -Perkara istri yang dituntut penjara karena memarahi suaminya yang mabuk berbuntut panjang.
Penyidik dari kepolisian hingga jaksa yang menangani kasus ini dipindahtugaskan.
Polemik bermula saat Valencya alias Nancy Lim dituntut 1 tahun penjara karena dianggap jaksa telah melakukan kekerasan psikis terhadap suaminya sendiri atas nama Chan Yu Ching. Kejaksaan Agung (Kejagung) lantas turun tangan.
"Dari tahap pra-penuntutan sampai dengan tahap penuntutan, baik dari Kejaksaan Negeri Karawang, maupun dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tidak memiliki sense of crisis atau kepekaan," ucap Leonard Eben Ezer Simanjuntak selaku Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung pada Senin (15/11/2021).
Sementara itu saat pembacaan tuntutan pada Kamis, 11 November 2021, Valencya sempat menyampaikan keberatannya. Dia tidak diterima dituntut 1 tahun penjara karena merasa sebagai korban.
"Saya keberatan yang mulia, apa yang dibacakan tidak sesuai fakta, massa hanya karena saya mengomeli suami yang suka mabuk-mabukan saya jadi tersangka dan dituntut satu tahun penjara," kata Valencya di hadapan majelis hakim.
Valencya dianggap jaksa melanggar Pasal 45 Ayat (1) junto Pasal 5 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (selanjutnya disebut UU KDRT). Berikut bunyi pasal-pasalnya:
Pasal 45 Ayat (1)
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000 (sembilan juta rupiah).
Pasal 5 huruf b
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara kekerasan psikis.
Pasal 7
Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Duduk Perkara
Iwan Kurniawan selaku kuasa hukum dari Valencya menceritakan kronologi kehidupan Valencya usai menikah dengan Chan Yu Ching. Awalnya pada tahun 2000, Chan Yu Ching yang merupakan seorang duda berkewarganegaraan Taiwan menikahi Valencya.
Namun Valencya mengaku dibohongi karena Chan Yu Ching mengaku tidak memiliki anak. Di awal pernikahan Valencya diminta Chan Yu Ching mengurus 3 anak di Taiwan.
Selain itu mahar emas untuk Valencya diketahui merupakan pinjaman Chan Yu Ching. Ketika dibawa Chan Yu Ching ke Taiwan, Valencya diminta membayar pinjaman itu.
Valencya mengaku berada di Taiwan dari tahun 2000 sampai 2005 dan bekerja sebagai buruh tani, buruh pabrik, dan berjualan. Menurut pengakuan Valencya, Chan Yu Ching sering mabuk dan gemar berjudi.
Lalu pada 2005 Valencya dan Chan Yu Ching pulang ke Indonesia dan menetap di Karawang, Jawa Barat. Valencya mengaku sejak saat itu membuka usaha toko bangunan, sementara Chan Yu Ching menganggur.
Pada 2016, Valencya mempromosikan Chan Yu Ching menjadi warga negara Indonesia (WNI). Namun selama menjalin hubungan rumah tangga, Valencya dan Chan Yu Ching kerap berselisih hingga mengajukan gugatan cerai pada Februari 2018.
Gugatan cerai itu akhirnya dicabut melalui upaya mediasi tetapi Chan Yu Ching dituding menelantarkan Valencya hingga akhirnya pada September 2019 Valencya kembali mengajukan gugatan cerai.
Pada Januari 2020, PN Karawang menerima gugatan cerai itu serta memerintahkan Chan Yu Ching membiayai hidup anaknya Rp 13 juta per bulan tetapi disebutkan bila hal itu tidak pernah dilakukan Chan Yu Ching.
Puncaknya pada September 2020 Chan Yu Ching melaporkan Valencya ke Polda Jawa Barat dengan tuduhan KDRT psikis. Valencya pun menjadi tersangka pada 11 Januari 2021. Di sisi lain Valencya juga melaporkan Chan Yu Ching untuk perkara yang sama.
Baik Valencya dan Chan Yu Ching pun berstatus tersangka dan diadili terpisah. Bila Valencya dijerat dengan tuduhan KDRT psikis, Chan Yu Ching dijerat terkait penelantaran yaitu Pasal 49 UU KDRT.
Berikut paparan pasal yang menjerat Chan Yu Ching:
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang:
a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
Pasal 9
(1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
(2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Perkara ini lantas berbuntut panjang. Polisi hingga jaksa yang menangani dicopot.
Tiga orang penyidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Barat (Ditreskrimum Polda Jabar) diketahui tengah diperiksa Propam Polda Jabar. Mereka dimutasi pula untuk memudahkan pemeriksaan tersebut.
"Jadi penyidik yang memeriksa kasus Valencya per hari ini sudah dimutasikan dalam rangka evaluasi (diperiksa)," ucap Kabid Humas Polda Jabar Kombes Erdi A Chaniago pada Selasa, 16 November 2021.
Selain itu dari sisi kejaksaan, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Aspidum Kejati Jabar) Dwi Hartanta turut dimutasi. Dalam surat Jaksa Agung, Dwi Hartanta dimutasikan sebagai jaksa fungsional di Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan di Jakarta.
"(Sebagai) anggota satuan tugas khusus penyusunan kebijakan strategis," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangannya, Kamis (18/11/2021).
Untuk posisi Aspidum Kajati Jabar saat ini diisi oleh Pelaksana Tugas atau Plt. Posisi ini diisi oleh Riyono yang saat ini juga masih menjabat sebagai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jabar.
"(Plt) sampai dengan adanya pejabat definitif yang diangkat oleh Jaksa Agung," kata Leonard.
Dia mengatakan mutasi dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan pemeriksaan yang dilakukan oleh Jamwas Kejagung. Aspidum sendiri sebelumnya ikut terseret kasus Valencya.
"Mutasi ini merupakan bentuk pelaksanaan mutasi diagonal yang dilaksanakan dalam rangka proses pemeriksaan fungsional Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung," tuturnya.(detik)