GELORA.CO - Aturan baru TNI yang memuat sejumlah prosedur pemeriksaan anggota TNI oleh aparat penegak hukum (APH) seperti Polisi, Jaksa, dan KPK dinilai sebagai sebuah kemunduran. Bahkan cenderung bertentangan dengan asas demokrasi.
Demikian disampaikan Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, yang mengkritisi aturan yang tertuang dalam Surat Telegram Panglima TNI bernomor ST/1221/2021 dan diteken pada 5 November 2021 itu.
"Aturan ini bertentangan dengan asas demokrasi yang tidak membedakan orang per orang jika terindikasi melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum," ucap Abdul Fickar Hadjar, kepada wartawan, Selasa (23/11).
"Ini sebuah kemunduran, karena siapapun berkedudukan sama di depan hukum," imbuhnya.
Hal senada disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar, Suparji Ahmad. Ia menilai aturan baru itu akan membuat penanganan kasus yang melibatkan prajurit TNI menjadi lamban. Sebab, proses hukumnya menjadi lebih birokratis.
"Ya akan cenderung menjadi lamban proses hukumnya, karena memerlukan izin atasan dalam pemanggilan," ujarnya.
Menurut Suparji, dari sudut pandang tertib hukum, aturan baru TNI itu akan memberikan pedoman pemeriksaan prajurit. Dia pun berharap agar aturan itu tidak kontraproduktif dengan penegakan hukum yang berlaku.
"Ketentuan tersebut diharapkan tidak kontraproduktif dengan penegakan hukum yang berlaku sesuai dengan equility before the law. Tetapi benar-benar dalam rangka menciptakan kepastian prosedural yang berkeadilan," paparnya.
Melalui Surat Telegram Panglima TNI Nomor ST/1221/2021, pemeriksaan anggota TNI yang tersangkut kasus hukum tak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada izin dan sepengatahuan komandan atau pimpinan kesatuan.
Diharapkan, dengan aturan tersebut kesalahpahaman yang berpotensi terjadi selama pemeriksaan di Polri, KPK, dan Kejaksaan dapat diminimalkan.
"Terkait pemanggilan ini kan, intinya kan kita itu memberitahukan kepada prajurit untuk tunduk dan taat pada aturan," terang Kabid Bankum Perdata dan Tata Usaha Negara Babinkum TNI, Kolonel Chk Rochmat, kepada wartawan, Selasa (23/11).
"Jangan sampai nanti pemanggilan itu, kalau dilakukan pemanggilan langsung ke prajurit, kalau terjadi apa-apa di lapangan, siapa yang tanggung jawab," tandasnya. [rmol]