GELORA.CO - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir meluruskan anggapan Muhammadiyah ormas Islam paling diuntungkan di masa Orde Baru. Ada pula yang menilai Muhammadiyah ‘kenyang’ di masa Orde Baru.
Memang di masa Orde Baru beberapa kader Muhammadiyah jadi langganan posisi menteri agama dalam beberapa periode, namun Haedar berdalih terpolihnya kader Muhammadiyah itu murni berdasarkan kalkulasi ideologis, yakni sesuai dengan visi pembangunan yang diandalankan dari Orde Baru.
Muhammadiyah politik jujur tegas
Haedar mengatakan Muhammadiyah tidak terbiasa dengan politik konspirasi, membangun lobi dengan tukar tambah kekuasaan atau melakukan manuver politik untuk memperebutkan kursi jabatan.
“Muhammadiyah tidak biasa politik konspirasi. Tapi politik yang biasa-biasa saja, politik yang jujur, tegas, argumentatif, dan tidak berorientasi pada kekuasaan. Maka kalau kemudian di era Orde Baru sekalipun, itu lahir tokoh-tokoh Muhammadiyah yang masuk ke kabinet, hal tersebut tidak minta dan tidak merupakan hasil rembugan dengan PP Muhammadiyah,” tutur Haedar dikutip dari laman Muhammadiyah, dikutip Jumat 12 November 2021.
Haedar menerangkan saat Orde Baru berkuasa, rezim ini melakukan marginalisasi politik Islam, yaitu mengeluarkan kebijakan deideologisasi.
Dalam kebijakan ini, partai-partai politik tidak diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Karenanya, tidak masuk akal bila Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkuasa di kabinet rezim Orde Baru. Lha wong Orde Baru saja sangat meminggirkan Islam politik dalam percaturan nasional.
“Ada pendapat di era Orde Baru Muhammadiyah menguasai birokrasi dan sudah saatnya yang lain. Sebenarnya tidak, kalau soal peminggiran politik terhadap kekuatan Islam, kan, dua pertiga dari perjalanan Orde Baru itu, kan, ada proses marjinalisasi politik Islam, karena ada asas tunggal Pancasila,” ujar Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Muhammadiyah kenyang di Orde Baru?
Haedar mengungkapkan kader-kader Muhammadiyah sempat menduduki jabatan Menteri Agama yaitu Abdul Mukti Ali (Kabinet Pembangunan I, 1971-1973, Kabinet Pembangunan II, 1973-1978), Munawir Sjadzali (Kabinet Pembangunan IV, 1983-1988, Kabinet Pembangunan V 1988-1993), dan Tarmidzi Taher (Kabinet Pembangunan VI, 1993-1998).
Selain itu, mengutip tulisan Ma’mun Murod Al-Barbasy, Ketua PP Muhammadiyah yang relatif lama bersentuhan dengan kekuasaan Orde Baru yaitu KH AR Fahruddin dan Prof KH Ahmad Azhar Basyir.
Selama Orde Baru berkuasa, kata Haedar, justru Muhammadiyah dipimpin oleh orang-orang yang sangat sederhana, wara’, zuhud, dan sangat jauh dari kesan cinta dunia. Kalau Muhammadiyah dituduh ‘kenyang’ di era Orde Baru, tentu setidaknya tergambar dari tampilan para ketuanya. [hops]