Menggugat Kebijakan Harga BBM Populis Tak Berkeadilan

Menggugat Kebijakan Harga BBM Populis Tak Berkeadilan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


DALAM sebulan terakhir terjadi kelangkaan bahan bakar Jenis BBM Tertentu (JBT, terutama solar), Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP, terutama premium), dan BBM umum (pertamax & pertalite) di sejumlah SPBU di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Kelangkaan ini menimbulkan antrean panjang, kemacetan, terhentinya nelayan Pantura melaut (Gresik, Lamongan, Tuban, dll), dan terganggunya kegiatan ekonomi.

Penyebab kelangkaan BBM, baik menurut BPH Migas, Pertamina, maupun analisis IRESS, seperti diurai berikut ini.



Pertama, dikatakan BBM langka karena stok dan pasokan perlu dikendalikan agar tidak melampaui kuota 2021 (15,8 juta kiloliter, kl). Artinya pasokan memang sengaja dikurangi agar kuota tidak terlampaui, terutama karena menyangkut pagu anggaran APBN.

Kedua, kebutuhan BBM melonjak seiring meningkatnya aktivitas masyarakat karena pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Menurut Pertamina, dibanding tahun lalu, permintaan BBM jenis gasoline (pertalite dan pertamax series) dan gasoil (biosolar dan dex series) naik antara 3,5 hingga 16 persen di berbagai wilayah.

Ketiga, terjadi penyalahgunaan BBM terutama karena semakin besarnya disparitas harga BBM umum/nonsubsidi dengan solar dan preminum. Selisih harga membesar karena semakin tingginya harga minyak dunia. Sementara harga solar dan premium tidak naik.

Maka, secara ilegal konsumen BBM nonsubsidi beralih ke BBM bersubsidi. Pasar gelap dan penyelewengan pun marak pada sektor-sektor industri, tambang, perkebunan, dll.

Keempat, penyalahgunaan BBM semakin meningkat akibat lemahnya pengawasan, minimnya penegakan dan sanksi hukum, serta terlibatnya oknum-oknum terkait pada rantai pasok, distribusi, dan pengawasan. Perburuan rente ini terjadi secara sistemik berkelanjutan.

Kelima, solar langka akibat kenaikan harga minyak sawit/CPO, sebab BBM solar subsidi masuk program solar B30. Harga CPO telah naik sekitar 75% dibanding 2020, sehingga harga FAME sebagai campuran B30 ikut naik.

Sementara, meski menjadi negara pengekspor CPO terbesar, pemerintah belum menerapkan DMO. Maka, Indonesia jangan bermimpi mengurangi impor migas dengan program B40, B50, dst, jika hanya untuk kadar rendah saja seperti B30 gagal berdaulat.

Keenam, pemerintah/BPH Migas gagal mengantisipasi naiknya permintaan saat PPKM direlaksasi, saat kehidupan “kembali normal”. Hal ini sebetulnya bisa dianalisis, karena permintaan meningkat secara gradual. Karena itu, langkah-langkah antisipatif mestinya mudah disiapkan, sehingga kelangkaan bisa dicegah.

Ketujuh, kelangkaan BBM terjadi diyakini sebagai bagian upaya Pertamina mengatasi masalah cash flow. Karena harga minyak dunia terus naik, sementara harga solar dan premium tetap, maka beban subsidi dan kompenasi semakin besar.

Memang subsidi dan kompensasi ini kelak dibayar pemerintah, namun karena jumlahnya terus membesar dan waktu pelunasan tidak pasti, maka keuangan Pertamina jelas terganggu. Karena itu, di samping menyiapkan dana talangan yang juga menimbulkan beban tambahan berupa bunga (cost of fund), Pertamina pun harus mengurangi pasokan.

Berbagai langkah kebijakan dan program mengatasi sebagian dari tujuh faktor penyebab kelangkaan di atas dapat dilakukan pemerintah dengan cepat. BPH Migas dan Pertamina misalnya telah melakukan koordinasi. BPH Migas telah menerbitkan surat relaksasi distribusi solar bersubsidi. Pertamina diberi wewenang mengatur kuota antar wilayah dan sektor, sepanjang tidak melebihi kuota nasional 15,8 juta kl.

Kuota nasional 15,8 juta kl bisa saja dinaikan, terutama jika dibutuhkan untuk menjamin perbaikan ekonomi dan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kenaikan ini relevan, sebab sebelumnya nilai kuota 35 juta kl (2020) dan 38 juta kl (2019, sebelum pandemi).

Pemerintah dan DPR dapat membuat kesepakatan sesuai mekanisme dan hukum berlaku. Hal prioritas dan menyangkut hidup rakyat tidak boleh dikalahkan mekanisme teknis prosedural.

Sistem Pricing & Subsidi Tidak Adil

Ternyata di balik berbagai faktor penyebab kelangkaan terkandung masalah besar yang mendesak diperbaiki. Disparitas harga telah menimbulkan penyalahgunaan BBM bersubsidi.

Disparitas harga terjadi karena kebijakan subsidi dan pricing BBM populis bermasalah. Sedang kebijakan populis ini, terutama dengan tidak menaikkan harga solar dan premium, terjadi akibat dominannya pertimbangan politik. Tujuannya, untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, dan pada level tertentu, untuk kepentingan oligarki dan perburuan rente.

Dampak kebijakan BBM populis antara lain adalah anggaran subsidi APBN semakin besar terutama saat harga minyak dunia terus naik. Padahal studi Bank Dunia menunjukkan sekitar 72% subsidi BBM tidak tepat sasaran.

Artinya, mayoritas dana subsidi APBN puluhan hingga ratusan triliun rupiah justru dinikmati golongan mampu secara tidak adil. Selain itu, karena ruang fiskal terbatas, maka naiknya dana subsidi akan mengurangi alokasi dana untuk pengentasan kemiskinan. Maka populasi rakyat miskin dan gap kaya-miskin (rasio GINI) tetap tinggi.

Di samping tidak adil dan melanggengkan kemiskinan, kebijakan BBM populis telah pula merusak kinerja BUMN, terutama Pertamina dan PLN sebagai penyedia layanan energi utama publik. BUMN energi kita sudah biasa menjadi objek bancakan penguasa, sejak dulu hingga sekarang.

Sikap semau gue karena berkuasa ini telah dan akan terus mengancam pelayanan energi berkelanjutan dan ketahanan energi nasional, termasuk naiknya harga BBM dan listrik secara signifikan oleh swasta, jika BUMN sampai bangkrut atau saham anak usahanya dijual.

Berdasar publikasi Pertamina dan APBN 2021, harga minyak mentah Indonesia, ICP, diasumsikan 45 dolar AS/barel. Ternyata harga minyak naik menjadi 50-an dolar AS sejak Januari dan menjadi 80-an dolar AS per barel pada Oktober. Secara rerata hingga Oktober 2021 ICP telah naik sekitar 80%.

Karena harga solar dan premium tidak berubah, maka besarnya piutang Pertamina kepada pemerintah hingga Oktober 2021, berasal dari subsidi dan kompensasi (selisih harga jual eceran JBT dan JBKP), diperkirakan mencapai 5,1 milar dolar AS, atau sekitar Rp 72 triliun.

Jangka pendek, pemerintah harus segera membayar piutang Pertamina, terutama agar masalah cash flow dan kelangkaan BBM dapat segera diatasi. Sejalan dengan itu, terlepas dari mekanisme APBN yang harus dipenuhi, pemerintah pun harus menambah kuota BBM, termasuk tambahan dana subsidi yang menyertai. Jika tidak ditambah, bisa saja ekonomi dan kehidupan masyarakat terdampak.

Namun, masalah yang dihadapi rakyat bukan sekadar kelangkaan BBM, dan dianggap selesai dengan solusi jangka pendek. Selama ini rakyat telah sangat dirugikan saat dana subsidi BBM diselewengkan ke sektor industri, tambang, perkebunan, dll.

Rakyat butuh solusi adil, komprehensif dan berkelanjutan, yang berpangkal dari kebijakan harga dan subsidi BBM yang bermasalah, serta sarat kepentingan pencitraan politik.

Untuk itu, IRESS menuntut agar pemerintah segera menetapkan sistem pricing dan subsidi BBM yang adil dan berkelanjutan. Sebagaimana diusulkan sejak 2015-an, sistem pricing BBM harus dinamis secara berkala sesuai perubahan variable harga minyak dunia, kurs dan indeks harga barang tertentu.

Selain itu sistem harga tunggal atas seminim mungkin jenis ini, perlu pula menerapkan skema dana stabilisasi (mengatasi dampak volatilitas harga minyak dunia) dan skema dana ketahanan/saving (mendukung keberlanjutan dan pengembangan EBT).

Bersamaan dengan penerapan harga tunggal dinamis berkala, sistem harga BBM pun harus bebas dari pola subsidi barang untuk diganti dengan pola subsidi langsung. Rakyat miskin dan sektor-sektor relevan dan layak harus diprioritaskan memperoleh subsidi.

Jika pemerintah dan Pertamina berkomitmen kuat, tidak terkontaminasi berbagai kepentingan sempit, pola subsidi langsung mestinya mudah dilakukan menggunakan teknologi IT dan aplikasi online yang telah berkembang pesat. Pertamina pun telah memulai dengan digitalisasi SPBU dan pelayanan.

Apakah “The Real President”, Mr. Jokowi, peduli mengakhiri kebijakan harga BBM populis tak berkeadilan?

(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita