GELORA.CO - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengkritik pernyataan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Dudung Abdurachman yang ingin melibatkan anggota TNI dalam memberantas gerakan radikalisme.
Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS, Rivanlee Anandar mengingatkan agar KSAD Dudung bekerja sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman.
"Pada hakikatnya, kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari kepolisian dan BNPT sebagaimana diamanatkan UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri," ujar Rivanlee lewat keterangan tertulis, Rabu, 24 November 2021.
Rivanlee menilai wacana mendorong pelibatan TNI dalam ranah sipil jelas tidak sesuai dengan undang-undang dan amanat reformasi. Selain itu, pengerahan kekuatan TNI sebagai angkatan bersenjata untuk mengurusi ranah sipil juga berpotensi mencederai demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia.
Belum lagi, ujar dia tingkat kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI masih terbilang tinggi dan korban utama dari tindakan tersebut adalah masyarakat sipil. Dalam beberapa tahun terakhir, kata dia, TNI AD selalu menempati posisi tertinggi dalam hal melakukan kekerasan jika dibandingkan dengan matra yang lain.
"Dengan adanya ketimpangan relasi yang tinggi antara prajurit TNI dan masyarakat sipil, gesekan dan potensi pelanggaran HAM akan semakin besar terjadi. Ketimbang melakukan hal-hal di luar tupoksi, KSAD seharusnya dapat fokus untuk membenahi pekerjaan rumah institusi TNI yang tak kunjung usai, seperti kultur kekerasan yang terus terjadi, keterlibatan TNI yang masif di ranah sipil, dan mandeknya reformasi peradilan militer," ujar Rivanlee.
Dudung menyampaikan rencananya melibatkan anggota TNI secara aktif dalam memberantas radikalisme dalam wawancara dengan sebuah media. Dudung bahkan tak segan akan menerapkan sistem seperti era Presiden Soeharto. Bintara Pembina Desa atau Babinsa yang merupakan satuan teritorial TNI AD yang berhadapan langsung dengan masyarakat, diminta awas terhadap perkembangan situasi menyangkut ekstrem kiri dan kanan.
KontraS menilai ucapan tersebut berbahaya karena dapat dijadikan prajurit di lapangan sebagai legitimasi melakukan stigma terhadap berbagai kelompok yang dianggap radikal. Belum lagi, definisi dan standar radikal tidak jelas ukurannya selama ini dan hanya menggunakan tafsir tunggal negara.
"Kami mendesak KSAD Dudung Abdurachman membatalkan wacana pelibatan aparat TNI dalam melakukan penangkalan terhadap gerakan radikalisme," ujar Rivanlee. [tempo]